Sunday, 17 July 2016

Do you believe in Happily Ever after (in weddings)?


                  I do believe in fairy tales, sejak kecil itu hal yang selalu saya katakan dalam hati saya. Saya ingat, setiap saya membaca cerita dan menonton film, kalimat terakhir “and they lived happily ever after..” menjadi kalimat yang saya tunggu, karena itulah yang saya yakini, pada akhirnya semua orang akan mendapatkan kebahagiaan mereka masing-masing. Namun, seiring bertambahnya usia, saya mengalami perubahan sudut pandang yang cukup drastis, dan ini dimulai dengan satu kisah sederhana dari masa kecil saya, The Little Mermaid.
                  Seperti kebanyakan orang, kisah The Little Mermaid yang saya yakini sejak kecil adalah versi Walt Disney, di mana akhir dari kisah ini sangat membahagiakan penonton. Ariel, sang putri duyung, anak dari King Triton yang sangat terobsesi dengan kehidupan di darat, akhirnya bisa membuat Prince Eric jatuh cinta padanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dan setelah mengalahkan sang penyihir jahat, Ursula, yang berusaha untuk menipu Ariel, sang Pangeran kemudian menikahi Ariel and they lived happily ever after.. kisah ini adalah kisah yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa oleh Disney untuk memuaskan penonton anak-anak, dimana kisah sebenarnya adalah drama tragis yang cukup gelap dan sulit untuk dinikmati oleh anak-anak.
                  Dalam kisah asli yang ditulis oleh penulis terkenal asal Denmark, Hans Christian Andersen, sang putri duyung (yang tidak memiliki nama) mengalami begitu banyak kekecewaan, mulai dari hilangnya suara untuk bernyanyi, kesakitan luar biasa saat menggunakan kakinya untuk berjalan, dan pangeran yang tidak jatuh cinta kepada dirinya. Sang putri duyung rela melepaskan hidup abadi yang dimiliki semua ikan duyung demi mendapatkan jiwa yang syaratnya cukup berat, yaitu dinikahi oleh seorang manusia. Namun, karena Sang Pangeran tidak jatuh cinta dan tidak mau menikahi dirinya, Sang Putri Duyung yang sudah tidak lagi memiliki hidup abadi dan kehilangan kesempatan dalam memperoleh jiwa, kemudian mati dan berubah menjadi buih ombak yang kemudian hilang begitu saja, menguap ke udara.
                  Apa yang saya mengerti dari dua versi kisah ini adalah realita akan sangat berbeda dengan apa yang kita inginkan, apa yang kita harapkan. Namun bagaimana kita memahami realita dan menjadikannya suatu kebahagiaan, tentu itulah yang menurut saya menjadi tantangan. Begitu pula dalam percintaan, ketika kecil saya memiliki gambaran akan dicintai seorang Pangeran jika saya dewasa nanti. Seorang pangeran yang memberikan saya seluruh yang ia miliki, bisa menunggang kuda dan bersuara indah. Namun, suami saya tidak memiliki seekor kuda, bernyanyi dengan suara seadanya dan sama sekali tidak romantis. Akan tetapi, ini tidak berarti ia bukan seorang Pangeran di dalam hati saya, saya bahagia mengenal pribadi seperti dirinya dan memutuskan untuk mengarungi hidup ini dengan keberadaannya di sisi saya.
                  Bicara mengenai kebahagiaan, setiap orang pasti memiliki bahagia versi mereka masing-masing, baik bahagia karena banyaknya uang yang dimiliki, karir yang luar biasa ataupun keluarga yang mereka bina bersama orang yang mereka cintai. Dalam pernikahan, saya pun memiliki bahagia versi saya sendiri, and it has nothing to do with fairy tale endings.. Jadi jika pertanyaannya apakah saya percaya akan Happily Ever After? Jawabannya, definitely NO!. Satu hal yang sering saya ingatkan kepada teman-teman saya adalah kopromi dengan realita, karena realita pasti tidak sebanding dengan harapan yang kita miliki. Namun, inilah yang mendasari kebahagiaan saya dalam membina hubungan bersama suami saya hingga saat ini. Kami berdua sepakat untuk mencari kebahagiaan di apapun yang kami kerjakan bersama, baik itu berdiskusi, sarapan bersama ataupun keadaan menyebalkan seperti terjebak macet berjam-jam di dalam mobil.
                  Dalam kehidupan percintaan, istilah happily ever after menjadi goal semua orang dalam menjalani hubungan. Namun, menjalani hubungan secara “autopilot” dan berharap kebahagiaan itu akan datang begitu saja bukanlah ide yang tepat dalam memperoleh your version of happy ending. Pernikahan saya baru memasuki tahun kedua, Namun usia hubungan kami sudah memasuki usia 10 tahun, dan dalam 10 tahun bersama dengan pasangan, satu hal yang saya pelajari adalah mencoba untuk menjadi pasangan ideal di dalam kisah dongeng Disney merupakan suatu hal yang membosankan. Saya memutuskan untuk menulis sendiri kisah kita berdua, lengkap dengan dinamika kehidupan yang akan terus terjadi, dan terus mengeluarkan effort yang sebesar-besarnya untuk memperoleh kebahagiaan kecil versi kita sendiri, di dalam setiap hal yang kita jalani.

                  I shall take the heart. For brains do not make one happy, and happiness is the best thing in the world.”, itulah yang dikatakan oleh Tin Woodman salah satu tokoh dalam kisah The Wizard of Oz karya L. Frank Baum. Dan itulah yang menjadi pegangan dalam hidup saya, kebahagiaan adalah hal terbaik dalam hidup ini, dan caranya mendapatkannya tergantung kita masing-masing. Begitu juga dalam menjalani hubungan percintaan kita, write your own story, make your own version of happy endings!.

- written for Elle Indonesia Magazine 

Wednesday, 15 July 2015

“Breaking the Rules or a Trendsetter?”




Saat saya masih duduk di bangku SD kelas 2, saya ingat saya mengikuti pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian. Dan hari itu para murid diharuskan membuat bunga dari kertas berwarna. Saya paham dan ikuti semua instruksi yang diberikan guru saya, tapi karena saya sudah bosan dengan instruksi yang lambat, saya mulai berkreasi dalam menggunting dan menjadikan bunga saya berbeda dengan anak lain. Ketika dikumpulkan, karena bunga yang saya buat berbeda sendiri, guru saya menghukum saya dengan memberikan nilai 4. Ketika itu saya ingat saya sedih luar biasa, sampai air mata jatuh bercucuran. Tapi, karena tidak terima dengan nilai itu dan saya merasa saya bisa, saya mulai lagi membuat bunga yang sama dengan teman-teman saya. Dan tentu saja, guru saya menghadiahi saya angka 8 karena bunga karya saya itu sesuai dengan instruksi yang ia berikan. Apa yang saya alami 20 tahun lalu, mungkin masih saja terjadi pada kehidupan kita saat ini. Seseorang hampir selalu mencoba untuk mengikuti arus ‘kelaziman’ agar tidak dinilai berbeda dan bisa diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari lingkungan.


 Apa yang kita lakukan tiap hari adalah bagian dari adaptasi, mencoba untuk membuat diri kita selalu masuk di semua kondisi dan semua lingkungan masyarakat. Bahkan adaptable selalu menjadi salah satu kriteria dalam mencari kerja di semua tempat. Tapi, apakah menjadi orang yang mudah beradaptasi dan diterima lingkungan adalah orang yang pasrah dan mengikuti semua aturan? Menurut saya, jawabannya TIDAK. Meskipun saya tidak semerta-merta setuju dengan pendapat ‘rules are meant to be broken’ tapi menurut saya, aturan dibuat untuk menjadi guidelines dan bukan untuk diagungkan, apalagi aturan tidak tertulis yang kadang ada di lingkungan sosial kita. Meskipun kadang tidak sesuai dengan logika orang kebanyakan, tapi menjadi seorang followers bukanlah pilihan saya. Saya melihat setiap orang diciptakan dengan keunikan mereka masing-masing, Namun kadang dalam kehidupan sosial, kita meredam hal-hal yang membuat kita berbeda, hanya karena kita malu atau takut tidak diterima oleh kebanyakan orang. I say, break the rules! If you wanna be crazy, be crazy.. Pada dasarnya revolusi tidak akan terjadi jika semua orang berpikiran dan berkelakuan sama.


Dalam kehidupan pribadi saya, sebagai news anchor saya selalu dianggap sebagai pribadi yang serius, kaku dan penuh dengan aturan ketika berbicara. Padahal, dengan pekerjaan saya yang memang menuntut saya untuk serius, setiap ada kesempatan untuk lebih nyeleneh akan saya pergunakan dengan sebaik-baiknya. Tidak selamanya kok, seorang news anchor harus penuh dengan keseriusan, kita juga manusia yang suka bersantai dan menikmati lelucon-lelucon ringan. Keunikan-keunikan karakter kita yang dibentuk dengan budaya dan latar belakang yang berbeda-beda adalah yang membuat karakter tiap orang berbeda. Dengan menonjolkan karakter kita masing-masing tanpa takut akan judgment dari lingkungan sekitar, pasti akan membuat kita jauh lebih distinctive di tengah kerumunan orang, dan inilah pula yang akan menjadi kekuatan dari brand image kita masing-masing. Saya sendiri lebih memilih untuk menjadi seorang news anchor dengan sisi humanis yang bergerak secara cair dan membengkokan anggapan bahwa ‘kita adalah yang tahu segalanya’, dan membalikkan pemahaman ini menjadi ‘kita adalah yang ingin tahu segalanya’. Dengan menjadi pribadi yang berbeda dengan karakter yang unik, maka sudah pasti kita berjalan untuk menjadi seorang trendsetter yang bisa membuat orang lain melihat apa yang ada di dalam diri kita tidak lagi sebagai kekurangan, tapi kelebihan kita.


Vokalis Foo Fighters, Dave Grohl, pernah menyatakan bahwa ia tidak percaya pada ‘guilty pleasures’ jika memang suka Britney Spears, maka go ahead, silahkan suka pada Britney Spears. Karena saat ini banyak orang yang terlalu memberi label ‘ini keren’ ‘itu tidak keren’. Kadang, kita terlalu terobsesi dengan apa yang menjadi pendapat kebanyakan masyarakat, dan lupa akan apa yang benar-benar menjadi pendapat kita pribadi. Maka, untuk menjadi diri sendiri dengan pendapat yang lebih orisinil, cobalah untuk mendengar hati kecil kita. Jika memang suka pada musik pop, silahkan suka pada musik pop, tidak ada yang mengharuskan anda untuk menyukai musik jazz. Jika memang suka pada makanan dari warteg di dekat rumah, makanlah dari warteg, tidak ada yang mengharuskan anda untuk makan sushi di restoran jepang terkenal. Jika memang ingin menjadi diri sendiri dan menjadi trendsetter, jadilah diri anda sendiri dan banggalah akan pilihan pribadi anda! 

Wednesday, 18 February 2015

Perception Vs Reality


Pengalaman tiap orang dalam melihat suatu benda membawa setiap manusia dalam pemahaman dan pembentukan persepsi, yang mana dalam melihat dan menginterpretasi suatu bentuk visual sebenarnya datang dengan suatu sistem pemahaman yang kadang kita pahami secara otomatis dan tidak menyadari saat kita melakukannya. Ketika cahaya tertangkap oleh retina, otak kita menangkap sinyal ini dalam waktu sangat cepat, hanya sepersepuluh detik saja. Maka dari itu, otak manusia bekerja dalam keadaan otomatis dengan mengartikan apa yang ada di depannya dengan melihat ke masa depan, tanpa memahami keadaan yang kita lihat sesungguhnya. Perlu dipahami, bahwa tanpa pemahaman yang ‘sadar’ maka sesungguhnya otak dan mata kita bekerja secara otomatis tanpa kesadaran.

Penjelasan ini sangat menarik jika kita tarik dalam konteks ilusi visual yang terus menerus menipu cara kerja otak maupun mata kita. Dalam suatu karya optical illusion cara kerja otak dan mata kadang dipermainkan untuk membuat satu persepsi baru yang menipu kedua organ kita ini. Melalui ilusi optik kita bisa melihat bahwa suatu garis yang lurus bisa seakan melengkung, atau benda dengan besar yang sama terlihat berbeda jika dikacaukan dengan beberapa benda lain yang ditaruh dengan sengaja di dekatnya. Ilusi yang diciptakan oleh sistem penangkapan cahaya melalui mata inilah yang sebenarnya adalah hubungan antara mata dan otak yang tidak sinkron, sehingga menciptakan sesuatu yang berbeda dari apa yang ada.

Dalam beberapa kasus, ilusi optik disebabkan oleh mata yang mencoba untuk mencari jalan pintas dalam menginterpretasikan gambar yang diterima di dalam otak, padahal apa yang sebenarnya ditangkap, jika mau dipandang lebih jelas akan menghasilkan interpretasi yang berbeda.







Ilusi optik sebagai salah satu cara untuk mengelabui mata ini, juga menjadi cara bagi banyak seniman untuk mengeksplorasi karya mereka. Kita bisa sebut beberapa diantaranya adalah Salvador Dali yang banyak menggunakan ilusi optik dalam menggambarkan suatu bentuk sedangkan sebenarnya berasal dari bentuk lain. Sebut juga, M.C. Escher yang sering membuat gambar di atas gambar dengan pola terbolak balik. Yang sangat menonjol dari beberapa seniman-seniman yang penulis sebutkan di atas adalah ketertarikan mereka dengan dunia sains yang bisa secara detail mereka torehkan di atas kanvas mereka.

Misalnya saja Salvador Dali seniman beraliran surealisme yang kerap membuat ilusi optik dengan kedalaman yang bervariasi di dalam lukisannya ternyata memiliki ketertarikan besar pada teori psikoanalisis dari Sigmund Freud. Di dalam perpustakaannya juga dipenuhi oleh berbagai macam buku mengenai fisika, kimia, teori dasar kehidupan, evolusi dan juga matematika. Maka bisa disimpulkan bahwa untuk membuat karya yang luar biasa detail seperti ilusi optik yang penulis sebutkan di atas, memerlukan presisi yang sangat baik dalam perhitungan kedalaman perspektif, sehingga ilusi yang benar-benar diinginkan dapat terwujud.

Dalam teorinya, untuk membuat ilusi optik bukanlah hal yang sulit dilakukan karena semua manusia mempunyai kebiasaan yang sama. Mata kita mencari apa yang menjadi lazim dan sering kita lihat di kehidupan sehari-hari. Bukan tidak mungkin dengan melalui pembelajaran yang lebih detail setiap orang dapat membuat ilusi optik hanya dengan bermodalkan penggaris semata. Namun, seiring dengan eksplorasi yang biasanya dilakukan oleh para pelukis terkenal, biasanya semakin rumit pula ilusi optik yang bisa diciptakan dalam kanvas mereka.



Salah satu karya Salvador Dali berjudul L’Amour de Peirrot lengkap dengan ilusi optik yang dapat langsung kita lihat, yaitu tengkorak yang menyeruak ditengah gambar dua orang yang sedang menikmati anggur sambil bercengkrama. Dalam karya ini, mau tidak mau mata kita akan lebih dahulu mengartikan tengkorak yang Nampak lebih dominan dan lebih jelas jika dibandingkan dengan kedua orang di dalam gambar ini.

Apa yang dilakukan sang seniman dalam kanvas atau bidang datar ini sudah hampir 1 abad yang lalu, tentunya bukanlah menjadi hal yang sulit bagi para seniman di zaman modern ini untuk berkarya dan mengekplor lebih jauh mengenai ilusi optik. Beberapa seniman modern yang sering bereksperimen dengan gaya ini adalah Damien Gilley yang biasa memanfaatkan ruangan untuk menjadi media berkarya untuk memperlihatkan ilusi kedalaman yang dapat ia ciptakan melalui objek datar. Karyanya biasa mengeksplor kedalaman dengan ketepatan ukuran dan panjang garis yang ia biasa torehkan di atas dinding, hasil ilusi yang ia ciptakan adalah kedalaman 3 dimensi yang membuat penikmatnya seakan diajak masuk ke dalam ruangan lain.






Yang menarik untuk dicermati adalah perhitungan yang dilakukan sangat detail dalam pengerjaannya sehingga tercipta satu garis sempurna dan kedalaman dalam sebuah karya dengan bidang datar. Selain Gilley masih banyak juga seniman-seniman kontemporer lain yang juga melakukan ilusi optik di dalam karya mereka, diantaranya Erik Johansson fotografer asal Swedia yang banyak mengambil gambar pemandangan untuk kemudian dieksplor dengan ilusi optik. Atau Felice Varini yang menggunakan objek-objek geometris dalam membuat karya di dalam suatu bidang 3 dimensi.




Selain digunakan sebagai media ekplorasi seni bagi beberapa seniman sejak berabad-abad lalu, ilusi optik juga mulai merambah ke dunia periklanan dan masuk ke dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia. Bisa kita cermati beberapa penerapan yang menarik yang bisa kita temui di jalan. Jika mau lebih jeli melihat, sekarang sudah banyak diantara kita hiburan yang biasa dilakukan di beberapa tempat hibutan, misalnya dengan lukisan 3D yang bisa dijadikan objek foto. Tidak hanya itu saja, ilusi optik juga mulai digunakan menjadi cara untuk memasarkan suatu barang, terlebih digunakan oleh merk high fashion terkenal asal Prancis yaitu Louis Vuitton yang bisa kita lihat juga di beberapa mall di Jakarta.






Maka dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa dalam keseharian kita juga banyak karya-karya menarik yang di dalamnya terkandung unsur ilusi optik. Dan yang menjadi tantangan adalah cara dari kita sebagai para pengamat untuk melihat dengan baik apa yang sebenarnya tersembunyi di balik suatu karya seni lengkap dengan perhitungan-perhitungan detail sehingga mampu mengelabui mata kita akan informasi yang diterima oleh otak. 

Sunday, 11 January 2015

Belajar Baca


              Sebagai manusia, kita tercipta sebagai makhluk sosial, keinginan dan hasrat kita untuk bertukar dan berbagi informasi tentunya tidak terbendung. Seiring dengan berjalannya waktu, manusia mulai merumuskan sistem komunikasi ini dalam bentuk suara dan terus berkembang hingga terciptanya suatu bahasa. Bahasa inilah yang kemudian secara bertahap memecah manusia jadi kelompok-kelompok kecil dengan cara berkomunikasi yang sama dan memisahkan diri dari kelompok dengan bahasa berbeda, yang tidak mereka mengerti.
 
            

Saat ini, kita hidup di tengah masyarakat modern dengan informasi yang bertumpah ruah, sehingga kadang sulit untuk memilih informasi mana yang patut diserap. Di tengah hiruk pikuk dan kecepatan dunia modern, setiap individu berpegang kepada apa yang mereka pahami dan bahasa sebagai identitas diri, inilah yang membedakan antara  individu satu dengan yang lainnya. Informasi yang tumpah ruah inilah yang juga kemudian mengembangkan individu satu dengan yang lainnya. Damono ( Pancasila, Pascasarjana, Coca- cola, Majalah Tempo, 5 Mei 2014, hal 1 ) menulis :“Memang, kita tidak hanya memliki kualitas telinga yang berbeda-beda, tapi juga ‘watak’ mulut yang berlain-lainan. Dan ketika mengubah bunyi menjadi gambar pun, kita menghasilkan berbagai jenis aksara yang tentu saja harus sesuai dengan telinga dan mulut masing-masing.” 


Secara sadar maupun tidak, kita membawa identitas kita di dalam pelafalan suatu kata yang kita baca. Mencoba menyerap apa yang saat ini terjadi di masyarakat, penulis mencoba untuk memandang lebih jeli ke kultur dan karakter masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa dalam kebiasaan membaca. Apakah mungkin bagi kiita untuk mengeluarkan bunyi yang tepat jika tidak membaca dengan tepat pula?   

        
Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia mencapai rasio satu banding seribu. Namun penulis tidak menganggap angka ini mengagetkan karena ini bisa dilihat dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Sebagai seorang broadcaster, penulis mendapati bahwa kebiasaan masyarakat untuk tidak membaca satu kata dengan tepat sampai habis sudah cukup mencemaskan. Kemalasan membaca ini seakan merebak dalam masyarakat yang kemudian penuh dengan asumsi dalam menulis dan juga mengucapkan suatu kata. 


Pada prinsipnya dalam dunia komunikasi, kata-kata yang kita ucapkan haruslah tepat. Maka dari itu, dalam mengucapkan suatu kata dengan tepat, kita harus mengetahui tempat asal kata tersebut, dan juga bagaimana kebiasaan masyarakat daerah asal mengucapkan. Kita ambil contoh roti croissant asal Prancis. Banyak masyarakat Indonesia yang menyebut roti ini dengan “kroisan” atau “kroisang” dimana keduanya keliru, karena cara membaca yang benar adalah “kroasong”. 


Argumentasi Damono mengenai cara ucap dan kultur yang melekat di lidah kita memang merupakan hal yang tentunya menjadi ciri, namun penulis merasa baik halnya sebelum mengucapkan kalimat, haruslah kita baca dulu dengan tepat. Dan cara membaca dengan baik dan benar inilah yang harus dijadikan budaya yang melekat pada setiap orang. 

Monday, 24 November 2014

Kebudayaan di Sekitar Kita


Bicara mengenai arti kebudayaan bagi bangsa Indonesia, tentunya tidak bisa dipungkiri dari akar yang mendarah daging tentunya Bahasa Indonesia yang setiap tanggal 28 Oktober kembali kita ucapkan, yaitu menjunjung Bahasa Indonesia. Jika melihat keadaan Bahasa Indonesia ditengah dunia modern saat ini, tentunya kita termasuk bangsa yang menjunjung tinggi bahasa ibu. Ini dibuktikan dalam sejarah bahwa Indonesia baru memasukkan Bahasa Inggris dalam kurikulum pendidikan pada tahun 1967. Namun sejak saat itu, kemampuan berbahasa asing bangsa Indonesia makin terasah, hal ini juga berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, kemampuan berbahasa Inggris seperti menjadi kemampuan mutlak yang harus dimiliki jika seseorang mau melamar kerja. Kemampuan berbahasa Inggris mutlak diperlukan untuk bertahan hidup di Jakarta.

Keberadaan Bahasa Indonesia sebagai jatidiri bangsa mulai terancam di kota-kota besar, salah satunya di Jakarta. Menurut catatan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2014 saja ada 111 sekolah internasional di Indonesia. Sekolah internasional hampir 1000% lebih mahal jika dibandingkan dengan sekolah negeri, Namun para orang tua berlomba-lomba untuk mendapatkan pendidikan ini. Lalu bagaimana dengan hasilnya? Seringkali kita jalan di ruang publik dan mendengar anak berumur 5 tahun bicara bahasa Inggris dengan fasihnya, tanpa terbata-bata, seakan itu adalah bahasa ibu. Terkadang malah sang ibu yang kesulitan berkomunikasi dengan anaknya yang sangat fasih berbahasa asing dan kurang mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sudah jelas benar bahwa anak yang terbentuk seperti ini tidak akan mengalami benturan keras ketika melamar kerja jika ia sudah dewasa nanti, skill bahasa Inggris seperti ini tentunya menjadi factor penting dalam komunikasi internasional. Namun yang jadi pertanyaan apakah kita membesarkan semua anak kita untuk berkiprah dalam dunia bisnis yang penuh dengan kepentingan asing? Apakah kita harus mendidik anak kita agar patuh terhadap apa yang dikatakan bangsa lain untuk memajukan ekonomi Indonesia sebagai satu-satunya aspek yang harus diperjuangkan dalam hidup mereka?

Yang cukup menakutkan adalah jika kita membayangkan anak-anak ini tumbuh dewasa dengan kemampuan komunikasi terbatas baik lisan maupun verbal, dan anak-anak ini kehilangan bahasa mereka sendiri. Bayangkan suatu saat nanti tidak ada lagi generasi yang bisa membaca buku-buku sastra Indonesia? Bahkan tidak ada lagi komunikasi khas jalanan yang kental dengan bahasa asli dari daerah tersebut. Fenomena ini harus digarisbawahi sebagai runtuhnya generasi penerus Bahasa Indonesia.

Kecintaan pada Bahasa sendiri bisa kita lihat pada Negara Jepang. Dengan situasi di era modern dimana informasi bisa datang dari semua tempat, Jepang merupakan salah satu Negara dengan teknologi paling modern dan paling berkembang pesat. Budaya masyarakat Jepang disusupi teknologi yang luar biasa canggih dalam kesehariannya. Namun ada hal yang sangat penting, yang tidak bisa disusupi yaitu kecintaan masyarakat Jepang pada bahasa ibu mereka. Kecintaan inilah yang menjadikan Bahasa Jepang sebagai bahasa ke-6 yang paling banyak dipelajari di seluruh dunia.

Kembali lagi ke akar dan kultur bangsa, dalam berbudaya seringkali Indonesia mengalami benturan dengan negeri tetangga, yang tak lain tak bukan, yang berbatasan langsung dengan Indonesia, yaitu Malaysia. Kita bersaing dengan Malaysia tidak hanya dalam olahraga, tetapi juga dalam klaim budaya. Kasus klaim batik sebagai budaya bangsa memang dimenangkan oleh Indonesia, tetapi mengapa pula harus demikian? Jika nenek moyang kita merekam sesuatu di atas kain, bukankah berarti ada juga yang melakukan hal itu? Afrika juga dikenal sebagai benua yang memiliki banyak kain tradisional dengan motif yang tidak kalah menarik dibanding motif batik Indonesia.
Suatu budaya berkembang dengan beragam nilai yang bisa dipetik dari berbagai hal, Namun penerapan budaya yang diserap dalam suatu daerah, dalam hal ini dalam suatu Negara, tentunya haruslah berkembang dan sesuai dengan pola pikir dan kebiasaan dari masyarakan yang berada di daerah tersebut. Maka bukanlah suatu hal yang disarankan bahwa dalam keadaan dunia modern seperti ini kita sebagai Negara timur membuka diri sebesar-besarnya terhadap kebudayaan yang saat ini merajai dunia. Seharusnya kita sudah memiliki ide atau gambaran besar, road map, dalam membawa budaya Indonesia menjadi salah satu budaya paling dikenal di dunia. Kita sebagai bangsa Indonesia, yang tentunya memiliki nasionalisme yang kuat, sudah harus menyusun strategi untuk berperang di dalam dunia, dengan senjata yang paling kuat, yaitu budaya Indonesia.
     
       Budaya dengan segala keindahannya juga adalah salah satu alat politik. Misalnya dalam gemerlap dunia K-Pop yang saat ini sedang merajalela tersisip pula maksud dan tujuan dari Negara penghasil budaya ini yaitu Korea. Korea sebagai salah satu Negara dengan ekonomi yang paling kuat saat ini di dunia, menunjukkan kekuatannya salah satunya dengan merajai dunia dengan budaya pop asal negeri ginseng ini yang lengkap dengan semua warna-warni budaya K-Pop. Hal ini diakui oleh Korea sebagai salah satu alat untuk menantang Amerika, yang selama ini merajai tangga lagu dunia dan juga panggung dunia hiburan. K-Pop datang dengan kualitas penyanyi yang sekadarnya, bahkan kadang tidak bisa bernyanyi sama sekali, Namun yang luar biasa adalah cara pengemasan yang dilakukan dengan seapik-apiknya, sehingga memberikan pertunjukkan luar biasa bagi para penonton yang langsung dibuat terhipnotis.
    
       Tidak hanya dengan penampilan yang luar biasa, tetapi panggung dunia hiburan juga diobrak-abrik sistemnya oleh K-Pop, atau dalam hal ini oleh Korea. Yang biasanya seorang artis, atau penyanyi, atau sebuah grup mencari uang dari penonton lewat konser dan penjualan album, kali ini Korea menambahkan beberapa aspek yang menarik, diantaranya lewat proses meet and greet yang dipungut biaya cukup besar, yang kemudian dilakukan sangat sering, dengan skala yang besar, sehingga menjadi salah satu faktor keterikatan penggemar dengan sang idola.
      
       Besarnya Korea di panggung dunia hiburan saat ini bukanlah kebetulan semata, para ahli kebudayaan di Korea maupun pemerintah paham betul akan potensi budaya mereka, yang juga dibumbui oleh dendam akan dominasi budaya Amerika yang setiap kali disajikan di panggung dunia hiburan. Kesuksesan Korea dalam menaklukkan dunia hiburan sudah dipersiapkan sejak lama, sehingga masyarakat Korea tumbuh dalam rencana menaklukkan dunia dalam arti sebenarnya. Korea juga adalah salah satu Negara yang masih menjalankan wajib militer bagi para remaja disana, bahkan salah satu personil dari Super Junior – boy band fenomenal asal Korea – sempat rehat dari karirnya untuk mengikuti wajib militer, ini juga merupakkan salah satu cara dari pemerintah Korea Selatan untuk membuat masyarakat, khususnya kaum muda, mengerti akan tanggung jawabnya sebagai warganegara.

Kesuksesan K-Pop dalam menaklukkan dunia hiburan tentunya berimbas sangat baik pada ekonomi Korea Selatan, saat ini Korea Selatan merupakan Negara ke 12 dengan ekonomi terkuat di dunia. Korea berkembang pesat dalam industri kreatif dan juga industri mesin. Yang ingin ditekankan disini adalah betapa suatu budaya dapat memberikan efek positif terhadap perkembangan ekonomi, apalagi jika kebudayaan itu adalah kebudayaan mengakar, yang kemudian memberikan perbedaan yang sangat jelas dengan kebudayaan lain. Kebudayaan yang kuat adalah kebudayaan yang mempunyai identitas. Kebudayaan yang berbeda, menjadikan suatu Negara unik.

 Pendapat Sapardi Djoko Damono yang mendalam mengenai membuka diri dan membuka pikiran kepada kebudayaan lain, bahkan diharuskan untuk mencari dan mencuri kebudayaan asing untuk diserap menjadi kebudayaan baru, tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan dalam melihat suatu budaya, masyarakat yang menetap dalam suatu Negara haruslah jeli. Dalam era modern dengan teknologi dan informasi yang berlimpah, kebudayaan suatu Negara memang pasti dipengaruhi oleh kebudayaan lain, Namun tentunya kedewasaan kebudayaan dari Negara kita sendiri – Indonesia – bisa terlihat ketika masyarakat tidak langsung menyerap dan membawanya ke dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Indonesia sudah melakukan apa yang memang seharusnya dilakukan suatu budaya dewasa, yaitu memilih dan menyeleksi apa kebudayaan yang cocok diterima, dan apa yang harus ditolak.

Sapardi Djoko Damono, menggambarkan sebuah analogi yang menarik untuk membedakan cara melihat masyarakat Indonesia zaman dahulu ketika menyerap Gatotkaca dan Mahabharata yang berasal dari India untuk kemudian masuk kedalam budaya Indonesia, hal ini sangatlah berbeda dengan cara masyarakat modern menanggapi tokoh Superman dan menyerapnya didalam budaya Indonesia. Bukanlah tidak mungkin seseorang sangat mencintai tokoh superhero Superman, namun yang harus diingat oleh Sapardi Djoko Damono, penerapan budaya di dalam kehidupan tidaklah seperti dulu lagi. Masyarakat yang benar-benar suka dengan Superman, tidak lagi terhipnotis kemudian memahatnya dalam relief di rumah mereka, Namun penerapan yang lebih popular seperti menggambarnya di dalam buku mereka, lebih masuk akal. Masyarakat Indonesia sudah tahu benar bagaimana cara membawa pengaruh budaya asing ke dalam kehidupan mereka sehari-hari tanpa merusak nilai-nilai kebudayaan yang dipercayai oleh mereka.

Belajar dari beberapa kebudayaan yang dianggap belum dewasa, sebut saja budaya dari benua Afrika (mayoritas, karena tentunya Afrika terdiri dari banyak budaya), karena masyarakat asli yang menetap di Afrika mudah percaya dan membuka diri terhadap kebudayaan asing, hingga saat ini penerapan bahasa yang menyatu masih sulit ditemukan oleh benua hitam ini. Tidak hanya itu, budaya Afrika yang masih sangat dekat kepada alam dan belum mengalami fase pendewasaan, seringkali dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menguntungkan para pendatang, bahkan hampir semua Negara barat mempunyai kepentingan di benua yang kaya raya dengan mineral bumi ini.

Tentunya seperti kita telah pelajari dalam sejarah bahwa Indonesia sudah berulangkali mengalami penjajahan, mulai dari yang bertahan berabad-abad, hingga yang hanya bertahan beberapa tahun saja, proses inilah yang mendewasakan budaya Indonesia, sehingga budaya Indonesia sudah berkembang menjadi budaya yang penuh dengan kebijaksanaan. Sangat jauh dari bijaksana, bila bangsa Indonesia menyerap semua kebudayaan asing yang sarat akan kepentingan politik dalam situasi dunia saat ini. Yang diperlukan adalah kedewasaan masyarakat untuk benar-benar mengerti akan potensi budaya yang dipegang oleh Indonesia, dan mau menjual juga membanggakan budaya Indonesia, sehingga bisa diberdayakan semaksimal mungkin di dunia. Belajar dari apa yang sudah dituliskan oleh sejarah Indonesia, untuk percaya dan membuka diri kepada masyarakat asing, bisa berimbas menetapnya mereka dan akhirnya merajalela di bumi pertiwi.

Sunday, 23 November 2014

HUMAN BEHAVIOUR


Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu ingin berinteraksi satu dengan yang lain selalu menjadikan perilaku mereka unik dan menarik untuk diamati dari jauh. Namun keterbatasan waktu dan juga akses di dalam hidup seseorang mungkin menjadikan si sang objek tidak lagi valid dan harus dihormati dengan segalam hak yang memang harus dipenuhi sebagai warga negara, tentunya hak untuk hidup nyaman dan aman. Bertolak dari akal pikiran ini, maka kenyataannya yang bisa manusia amati hanyalah perilaku mereka dalam bermasyarakat dan interaksi mereka dengan lingkungan.

Jujur sebagai seorang manusia yang sudah berjalan di dunia ini selama lebih dari seperempat abad, saya masih tidak begitu mengerti dengan beberapa perilaku sosial yang seseorang bisa keluarkan di dalam konteks bermasyarakat. Hal inilah yang kemudian menantang saya untuk menelaah lebih lanjut, dan untuk mengerti lebih lanjut mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam pembentukan masyarakat dengan budayanya yang dibentuk oleh individu-individu yang datang dari berbagai tempat yang berbeda.

Kota adalah tempat, kota adalah wadah, kota adalah lokasi di mana seluruh interaksi yang membingungkan dan penuh dengan pertanyaan ini terjadi. Maka untuk mempelajari suatu kota besar yang tumplek blek dengan permasalahan yang berjuta-juta dan menjadikan tempat bertemunya manusia dengan karakter-karakter ajaib yang kemudian menghasilkan kebudayaan perkotaan tentunya bukan hal yang mudah, Namun pastinya adalah hal yang sangat menarik untuk sekedar dimengerti dan kemudian menjadi buah pikiran dalam menentukan wacana-wacana pilihan yang bisa menjadikan hidup masing-masing individu lebih bermakna. 

Tuesday, 14 January 2014

being too social, yay or nay?


It’s been a while since I write.. but to be honest I never stop writing inside my head. Ideas, thoughts, concepts  - or whatever you call it – has been flowing and flowing and flowing. Mungkin sudah saatnya untuk merenung dan kembali mengecap keegoisan yang biasanya saya hindari ketika bersama orang banyak, tapi di dalam rumah ini dan di dalam kamar ini, I can be myself.

Dimulai dari seseorang yang tidak pernah peduli akan pendapat orang lain, saya datang dengan begitu banyak pemikiran di kepala saya, tidak takut akan judgment, that’s always been me. Wild, free, and emotional, it’s always been me. I cry, I yell, I swear, but at the end of the day I paint, I write, I draw.

This has always been my issue, my social skill, tapi saya tidak pernah menyangka isu ini akan memberikan efek yang begitu besar untuk saya. Mungkin karena pekerjaan, ya mungkin karena itu. Pekerjaan saya menuntut saya untuk mempunyai skil sosial yang tinggi. Setiap hari bertemu dengan orang baru, bekerja dengan orang baru, belajar dengan orang baru. My job changed me in a way that I never thought possible. I begin to talk, I begin to listen, and what surprised me the most, I begin to care.

Saya tidak pernah mengira saya mengenal rasa takut, saya tidak pernah mengira saya bisa peduli akan pendapat orang. Ada baiknya bahwa saya akhirnya bisa merasa, saya bisa komunikasi dengan baik dan bisa mendengarkan orang lain.

Tapi kembali lagi setiap perubahan selalu punya sisi negatif, saat saya mulai merasa dan mulai berkumpul dengan orang banyak, saya kehilangan diri saya, keegoisan yang selalu menjadi identitas saya. Saya tidak bisa berkarya maksimal. Saya butuh effort sangat besar untuk sekadar memegang pensil, yang mana dulu saya tidak pernah bisa meletakkan pensil. Saya butuh waktu yang lama untuk menggodok konsep karya saya di kepala, yang mana dulu datang hanya dengan sekejap mata.

Berada bersama terlalu banyak orang akan membuat saya bias dan mempertanyakan apa yang sebenarnya saya inginkan untuk saya, bukan yang diinginkan orang lain untuk saya. Bersosialisasi membuat saya kadang berhenti berpikiran diluar batas, hanya karena saya takut dinilai orang buruk.

Mungkin konteks bersosialisasi yang saya bicarakan ini berbeda dengan bersosialisi dengan teman dekat, sahabat dan mereka yang menerima saya apa adanya. Mempunyai jaringan sosial sangat amat penting untuk hidup dan bertahan hidup ditengah derasnya arus metropolitan. Dengan mengenal banyak orang, kita mampu keluar masuk dan ditolong dalam situasi apapun. Tetapi kembali lagi, kalau kita harus berubah dan berhenti berkarya karena dunia sosial yang begitu jahat, is it really worth it?