Sebagai
manusia, kita tercipta sebagai makhluk sosial, keinginan dan hasrat kita untuk
bertukar dan berbagi informasi tentunya tidak terbendung. Seiring dengan
berjalannya waktu, manusia mulai merumuskan sistem komunikasi ini dalam bentuk
suara dan terus berkembang hingga terciptanya suatu bahasa. Bahasa inilah yang
kemudian secara bertahap memecah manusia jadi kelompok-kelompok kecil dengan
cara berkomunikasi yang sama dan memisahkan diri dari kelompok dengan bahasa
berbeda, yang tidak mereka mengerti.
Saat
ini, kita hidup di tengah masyarakat modern dengan informasi yang bertumpah
ruah, sehingga kadang sulit untuk memilih informasi mana yang patut diserap. Di
tengah hiruk pikuk dan kecepatan dunia modern, setiap individu berpegang kepada
apa yang mereka pahami dan bahasa sebagai identitas diri, inilah yang
membedakan antara individu satu
dengan yang lainnya. Informasi yang tumpah ruah inilah yang juga kemudian
mengembangkan individu satu dengan yang lainnya. Damono ( Pancasila,
Pascasarjana, Coca- cola, Majalah Tempo, 5 Mei 2014, hal 1 ) menulis :“Memang, kita tidak hanya memliki
kualitas telinga yang berbeda-beda, tapi juga ‘watak’ mulut yang berlain-lainan.
Dan ketika mengubah bunyi menjadi gambar pun, kita menghasilkan berbagai jenis
aksara yang tentu saja harus sesuai dengan telinga dan mulut masing-masing.”
Secara
sadar maupun tidak, kita membawa identitas kita di dalam pelafalan suatu kata
yang kita baca. Mencoba menyerap apa yang saat ini terjadi di masyarakat,
penulis mencoba untuk memandang lebih jeli ke kultur dan karakter masyarakat
Indonesia sebagai suatu bangsa dalam kebiasaan membaca. Apakah mungkin bagi
kiita untuk mengeluarkan bunyi yang tepat jika tidak membaca dengan tepat pula?
Menurut
data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia mencapai rasio satu banding
seribu. Namun penulis tidak menganggap angka ini mengagetkan karena ini bisa
dilihat dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Sebagai seorang broadcaster, penulis mendapati bahwa
kebiasaan masyarakat untuk tidak membaca satu kata dengan tepat sampai habis
sudah cukup mencemaskan. Kemalasan membaca ini seakan merebak dalam masyarakat
yang kemudian penuh dengan asumsi dalam menulis dan juga mengucapkan suatu
kata.
Pada
prinsipnya dalam dunia komunikasi, kata-kata yang kita ucapkan haruslah tepat.
Maka dari itu, dalam mengucapkan suatu kata dengan tepat, kita harus mengetahui
tempat asal kata tersebut, dan juga bagaimana kebiasaan masyarakat daerah asal
mengucapkan. Kita ambil contoh roti croissant
asal Prancis. Banyak masyarakat Indonesia yang menyebut roti ini dengan
“kroisan” atau “kroisang” dimana keduanya keliru, karena cara membaca yang
benar adalah “kroasong”.
Argumentasi
Damono mengenai cara ucap dan kultur yang melekat di lidah kita memang
merupakan hal yang tentunya menjadi ciri, namun penulis merasa baik halnya
sebelum mengucapkan kalimat, haruslah kita baca dulu dengan tepat. Dan cara
membaca dengan baik dan benar inilah yang harus dijadikan budaya yang melekat
pada setiap orang.