I do believe in fairy tales, sejak kecil itu hal yang selalu saya
katakan dalam hati saya. Saya ingat, setiap saya membaca cerita dan menonton
film, kalimat terakhir “and they lived
happily ever after..” menjadi kalimat yang saya tunggu, karena itulah yang
saya yakini, pada akhirnya semua orang akan mendapatkan kebahagiaan mereka
masing-masing. Namun, seiring bertambahnya usia, saya mengalami perubahan sudut
pandang yang cukup drastis, dan ini dimulai dengan satu kisah sederhana dari
masa kecil saya, The Little Mermaid.
Seperti kebanyakan orang,
kisah The Little Mermaid yang saya yakini sejak kecil adalah versi Walt Disney,
di mana akhir dari kisah ini sangat membahagiakan penonton. Ariel, sang putri
duyung, anak dari King Triton yang sangat terobsesi dengan kehidupan di darat,
akhirnya bisa membuat Prince Eric jatuh cinta padanya tanpa mengucapkan sepatah
kata pun. Dan setelah mengalahkan sang penyihir jahat, Ursula, yang berusaha
untuk menipu Ariel, sang Pangeran kemudian menikahi Ariel and they lived happily ever after.. kisah ini adalah kisah yang
sudah dimodifikasi sedemikian rupa oleh Disney untuk memuaskan penonton
anak-anak, dimana kisah sebenarnya adalah drama tragis yang cukup gelap dan
sulit untuk dinikmati oleh anak-anak.
Dalam kisah asli yang ditulis
oleh penulis terkenal asal Denmark, Hans Christian Andersen, sang putri duyung
(yang tidak memiliki nama) mengalami begitu banyak kekecewaan, mulai dari
hilangnya suara untuk bernyanyi, kesakitan luar biasa saat menggunakan kakinya
untuk berjalan, dan pangeran yang tidak jatuh cinta kepada dirinya. Sang putri
duyung rela melepaskan hidup abadi yang dimiliki semua ikan duyung demi
mendapatkan jiwa yang syaratnya cukup berat, yaitu dinikahi oleh seorang
manusia. Namun, karena Sang Pangeran tidak jatuh cinta dan tidak mau menikahi
dirinya, Sang Putri Duyung yang sudah tidak lagi memiliki hidup abadi dan
kehilangan kesempatan dalam memperoleh jiwa, kemudian mati dan berubah menjadi
buih ombak yang kemudian hilang begitu saja, menguap ke udara.
Apa yang saya mengerti dari
dua versi kisah ini adalah realita akan sangat berbeda dengan apa yang kita
inginkan, apa yang kita harapkan. Namun bagaimana kita memahami realita dan
menjadikannya suatu kebahagiaan, tentu itulah yang menurut saya menjadi
tantangan. Begitu pula dalam percintaan, ketika kecil saya memiliki gambaran
akan dicintai seorang Pangeran jika saya dewasa nanti. Seorang pangeran yang
memberikan saya seluruh yang ia miliki, bisa menunggang kuda dan bersuara
indah. Namun, suami saya tidak memiliki seekor kuda, bernyanyi dengan suara
seadanya dan sama sekali tidak romantis. Akan tetapi, ini tidak berarti ia
bukan seorang Pangeran di dalam hati saya, saya bahagia mengenal pribadi
seperti dirinya dan memutuskan untuk mengarungi hidup ini dengan keberadaannya
di sisi saya.
Bicara mengenai kebahagiaan,
setiap orang pasti memiliki bahagia versi mereka masing-masing, baik bahagia
karena banyaknya uang yang dimiliki, karir yang luar biasa ataupun keluarga
yang mereka bina bersama orang yang mereka cintai. Dalam pernikahan, saya pun
memiliki bahagia versi saya sendiri, and
it has nothing to do with fairy tale endings.. Jadi jika pertanyaannya
apakah saya percaya akan Happily Ever
After? Jawabannya, definitely NO!. Satu
hal yang sering saya ingatkan kepada teman-teman saya adalah kopromi dengan
realita, karena realita pasti tidak sebanding dengan harapan yang kita miliki.
Namun, inilah yang mendasari kebahagiaan saya dalam membina hubungan bersama
suami saya hingga saat ini. Kami berdua sepakat untuk mencari kebahagiaan di
apapun yang kami kerjakan bersama, baik itu berdiskusi, sarapan bersama ataupun
keadaan menyebalkan seperti terjebak macet berjam-jam di dalam mobil.
Dalam kehidupan percintaan,
istilah happily ever after menjadi goal semua orang dalam menjalani
hubungan. Namun, menjalani hubungan secara “autopilot”
dan berharap kebahagiaan itu akan datang begitu saja bukanlah ide yang tepat
dalam memperoleh your version of happy
ending. Pernikahan saya baru memasuki tahun kedua, Namun usia hubungan kami
sudah memasuki usia 10 tahun, dan dalam 10 tahun bersama dengan pasangan, satu
hal yang saya pelajari adalah mencoba untuk menjadi pasangan ideal di dalam
kisah dongeng Disney merupakan suatu hal yang membosankan. Saya memutuskan
untuk menulis sendiri kisah kita berdua, lengkap dengan dinamika kehidupan yang
akan terus terjadi, dan terus mengeluarkan effort
yang sebesar-besarnya untuk memperoleh kebahagiaan kecil versi kita
sendiri, di dalam setiap hal yang kita jalani.
“I
shall take the heart. For brains do not make one happy, and happiness is the
best thing in the world.”, itulah
yang dikatakan oleh Tin Woodman salah satu tokoh dalam kisah The Wizard of Oz
karya L. Frank Baum. Dan itulah yang menjadi pegangan dalam hidup saya,
kebahagiaan adalah hal terbaik dalam hidup ini, dan caranya mendapatkannya
tergantung kita masing-masing. Begitu juga dalam menjalani hubungan percintaan
kita, write your own story, make your own
version of happy endings!.
- written for Elle Indonesia Magazine