Wednesday 15 July 2015

“Breaking the Rules or a Trendsetter?”




Saat saya masih duduk di bangku SD kelas 2, saya ingat saya mengikuti pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian. Dan hari itu para murid diharuskan membuat bunga dari kertas berwarna. Saya paham dan ikuti semua instruksi yang diberikan guru saya, tapi karena saya sudah bosan dengan instruksi yang lambat, saya mulai berkreasi dalam menggunting dan menjadikan bunga saya berbeda dengan anak lain. Ketika dikumpulkan, karena bunga yang saya buat berbeda sendiri, guru saya menghukum saya dengan memberikan nilai 4. Ketika itu saya ingat saya sedih luar biasa, sampai air mata jatuh bercucuran. Tapi, karena tidak terima dengan nilai itu dan saya merasa saya bisa, saya mulai lagi membuat bunga yang sama dengan teman-teman saya. Dan tentu saja, guru saya menghadiahi saya angka 8 karena bunga karya saya itu sesuai dengan instruksi yang ia berikan. Apa yang saya alami 20 tahun lalu, mungkin masih saja terjadi pada kehidupan kita saat ini. Seseorang hampir selalu mencoba untuk mengikuti arus ‘kelaziman’ agar tidak dinilai berbeda dan bisa diterima oleh masyarakat sebagai bagian dari lingkungan.


 Apa yang kita lakukan tiap hari adalah bagian dari adaptasi, mencoba untuk membuat diri kita selalu masuk di semua kondisi dan semua lingkungan masyarakat. Bahkan adaptable selalu menjadi salah satu kriteria dalam mencari kerja di semua tempat. Tapi, apakah menjadi orang yang mudah beradaptasi dan diterima lingkungan adalah orang yang pasrah dan mengikuti semua aturan? Menurut saya, jawabannya TIDAK. Meskipun saya tidak semerta-merta setuju dengan pendapat ‘rules are meant to be broken’ tapi menurut saya, aturan dibuat untuk menjadi guidelines dan bukan untuk diagungkan, apalagi aturan tidak tertulis yang kadang ada di lingkungan sosial kita. Meskipun kadang tidak sesuai dengan logika orang kebanyakan, tapi menjadi seorang followers bukanlah pilihan saya. Saya melihat setiap orang diciptakan dengan keunikan mereka masing-masing, Namun kadang dalam kehidupan sosial, kita meredam hal-hal yang membuat kita berbeda, hanya karena kita malu atau takut tidak diterima oleh kebanyakan orang. I say, break the rules! If you wanna be crazy, be crazy.. Pada dasarnya revolusi tidak akan terjadi jika semua orang berpikiran dan berkelakuan sama.


Dalam kehidupan pribadi saya, sebagai news anchor saya selalu dianggap sebagai pribadi yang serius, kaku dan penuh dengan aturan ketika berbicara. Padahal, dengan pekerjaan saya yang memang menuntut saya untuk serius, setiap ada kesempatan untuk lebih nyeleneh akan saya pergunakan dengan sebaik-baiknya. Tidak selamanya kok, seorang news anchor harus penuh dengan keseriusan, kita juga manusia yang suka bersantai dan menikmati lelucon-lelucon ringan. Keunikan-keunikan karakter kita yang dibentuk dengan budaya dan latar belakang yang berbeda-beda adalah yang membuat karakter tiap orang berbeda. Dengan menonjolkan karakter kita masing-masing tanpa takut akan judgment dari lingkungan sekitar, pasti akan membuat kita jauh lebih distinctive di tengah kerumunan orang, dan inilah pula yang akan menjadi kekuatan dari brand image kita masing-masing. Saya sendiri lebih memilih untuk menjadi seorang news anchor dengan sisi humanis yang bergerak secara cair dan membengkokan anggapan bahwa ‘kita adalah yang tahu segalanya’, dan membalikkan pemahaman ini menjadi ‘kita adalah yang ingin tahu segalanya’. Dengan menjadi pribadi yang berbeda dengan karakter yang unik, maka sudah pasti kita berjalan untuk menjadi seorang trendsetter yang bisa membuat orang lain melihat apa yang ada di dalam diri kita tidak lagi sebagai kekurangan, tapi kelebihan kita.


Vokalis Foo Fighters, Dave Grohl, pernah menyatakan bahwa ia tidak percaya pada ‘guilty pleasures’ jika memang suka Britney Spears, maka go ahead, silahkan suka pada Britney Spears. Karena saat ini banyak orang yang terlalu memberi label ‘ini keren’ ‘itu tidak keren’. Kadang, kita terlalu terobsesi dengan apa yang menjadi pendapat kebanyakan masyarakat, dan lupa akan apa yang benar-benar menjadi pendapat kita pribadi. Maka, untuk menjadi diri sendiri dengan pendapat yang lebih orisinil, cobalah untuk mendengar hati kecil kita. Jika memang suka pada musik pop, silahkan suka pada musik pop, tidak ada yang mengharuskan anda untuk menyukai musik jazz. Jika memang suka pada makanan dari warteg di dekat rumah, makanlah dari warteg, tidak ada yang mengharuskan anda untuk makan sushi di restoran jepang terkenal. Jika memang ingin menjadi diri sendiri dan menjadi trendsetter, jadilah diri anda sendiri dan banggalah akan pilihan pribadi anda! 

Wednesday 18 February 2015

Perception Vs Reality


Pengalaman tiap orang dalam melihat suatu benda membawa setiap manusia dalam pemahaman dan pembentukan persepsi, yang mana dalam melihat dan menginterpretasi suatu bentuk visual sebenarnya datang dengan suatu sistem pemahaman yang kadang kita pahami secara otomatis dan tidak menyadari saat kita melakukannya. Ketika cahaya tertangkap oleh retina, otak kita menangkap sinyal ini dalam waktu sangat cepat, hanya sepersepuluh detik saja. Maka dari itu, otak manusia bekerja dalam keadaan otomatis dengan mengartikan apa yang ada di depannya dengan melihat ke masa depan, tanpa memahami keadaan yang kita lihat sesungguhnya. Perlu dipahami, bahwa tanpa pemahaman yang ‘sadar’ maka sesungguhnya otak dan mata kita bekerja secara otomatis tanpa kesadaran.

Penjelasan ini sangat menarik jika kita tarik dalam konteks ilusi visual yang terus menerus menipu cara kerja otak maupun mata kita. Dalam suatu karya optical illusion cara kerja otak dan mata kadang dipermainkan untuk membuat satu persepsi baru yang menipu kedua organ kita ini. Melalui ilusi optik kita bisa melihat bahwa suatu garis yang lurus bisa seakan melengkung, atau benda dengan besar yang sama terlihat berbeda jika dikacaukan dengan beberapa benda lain yang ditaruh dengan sengaja di dekatnya. Ilusi yang diciptakan oleh sistem penangkapan cahaya melalui mata inilah yang sebenarnya adalah hubungan antara mata dan otak yang tidak sinkron, sehingga menciptakan sesuatu yang berbeda dari apa yang ada.

Dalam beberapa kasus, ilusi optik disebabkan oleh mata yang mencoba untuk mencari jalan pintas dalam menginterpretasikan gambar yang diterima di dalam otak, padahal apa yang sebenarnya ditangkap, jika mau dipandang lebih jelas akan menghasilkan interpretasi yang berbeda.







Ilusi optik sebagai salah satu cara untuk mengelabui mata ini, juga menjadi cara bagi banyak seniman untuk mengeksplorasi karya mereka. Kita bisa sebut beberapa diantaranya adalah Salvador Dali yang banyak menggunakan ilusi optik dalam menggambarkan suatu bentuk sedangkan sebenarnya berasal dari bentuk lain. Sebut juga, M.C. Escher yang sering membuat gambar di atas gambar dengan pola terbolak balik. Yang sangat menonjol dari beberapa seniman-seniman yang penulis sebutkan di atas adalah ketertarikan mereka dengan dunia sains yang bisa secara detail mereka torehkan di atas kanvas mereka.

Misalnya saja Salvador Dali seniman beraliran surealisme yang kerap membuat ilusi optik dengan kedalaman yang bervariasi di dalam lukisannya ternyata memiliki ketertarikan besar pada teori psikoanalisis dari Sigmund Freud. Di dalam perpustakaannya juga dipenuhi oleh berbagai macam buku mengenai fisika, kimia, teori dasar kehidupan, evolusi dan juga matematika. Maka bisa disimpulkan bahwa untuk membuat karya yang luar biasa detail seperti ilusi optik yang penulis sebutkan di atas, memerlukan presisi yang sangat baik dalam perhitungan kedalaman perspektif, sehingga ilusi yang benar-benar diinginkan dapat terwujud.

Dalam teorinya, untuk membuat ilusi optik bukanlah hal yang sulit dilakukan karena semua manusia mempunyai kebiasaan yang sama. Mata kita mencari apa yang menjadi lazim dan sering kita lihat di kehidupan sehari-hari. Bukan tidak mungkin dengan melalui pembelajaran yang lebih detail setiap orang dapat membuat ilusi optik hanya dengan bermodalkan penggaris semata. Namun, seiring dengan eksplorasi yang biasanya dilakukan oleh para pelukis terkenal, biasanya semakin rumit pula ilusi optik yang bisa diciptakan dalam kanvas mereka.



Salah satu karya Salvador Dali berjudul L’Amour de Peirrot lengkap dengan ilusi optik yang dapat langsung kita lihat, yaitu tengkorak yang menyeruak ditengah gambar dua orang yang sedang menikmati anggur sambil bercengkrama. Dalam karya ini, mau tidak mau mata kita akan lebih dahulu mengartikan tengkorak yang Nampak lebih dominan dan lebih jelas jika dibandingkan dengan kedua orang di dalam gambar ini.

Apa yang dilakukan sang seniman dalam kanvas atau bidang datar ini sudah hampir 1 abad yang lalu, tentunya bukanlah menjadi hal yang sulit bagi para seniman di zaman modern ini untuk berkarya dan mengekplor lebih jauh mengenai ilusi optik. Beberapa seniman modern yang sering bereksperimen dengan gaya ini adalah Damien Gilley yang biasa memanfaatkan ruangan untuk menjadi media berkarya untuk memperlihatkan ilusi kedalaman yang dapat ia ciptakan melalui objek datar. Karyanya biasa mengeksplor kedalaman dengan ketepatan ukuran dan panjang garis yang ia biasa torehkan di atas dinding, hasil ilusi yang ia ciptakan adalah kedalaman 3 dimensi yang membuat penikmatnya seakan diajak masuk ke dalam ruangan lain.






Yang menarik untuk dicermati adalah perhitungan yang dilakukan sangat detail dalam pengerjaannya sehingga tercipta satu garis sempurna dan kedalaman dalam sebuah karya dengan bidang datar. Selain Gilley masih banyak juga seniman-seniman kontemporer lain yang juga melakukan ilusi optik di dalam karya mereka, diantaranya Erik Johansson fotografer asal Swedia yang banyak mengambil gambar pemandangan untuk kemudian dieksplor dengan ilusi optik. Atau Felice Varini yang menggunakan objek-objek geometris dalam membuat karya di dalam suatu bidang 3 dimensi.




Selain digunakan sebagai media ekplorasi seni bagi beberapa seniman sejak berabad-abad lalu, ilusi optik juga mulai merambah ke dunia periklanan dan masuk ke dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia. Bisa kita cermati beberapa penerapan yang menarik yang bisa kita temui di jalan. Jika mau lebih jeli melihat, sekarang sudah banyak diantara kita hiburan yang biasa dilakukan di beberapa tempat hibutan, misalnya dengan lukisan 3D yang bisa dijadikan objek foto. Tidak hanya itu saja, ilusi optik juga mulai digunakan menjadi cara untuk memasarkan suatu barang, terlebih digunakan oleh merk high fashion terkenal asal Prancis yaitu Louis Vuitton yang bisa kita lihat juga di beberapa mall di Jakarta.






Maka dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa dalam keseharian kita juga banyak karya-karya menarik yang di dalamnya terkandung unsur ilusi optik. Dan yang menjadi tantangan adalah cara dari kita sebagai para pengamat untuk melihat dengan baik apa yang sebenarnya tersembunyi di balik suatu karya seni lengkap dengan perhitungan-perhitungan detail sehingga mampu mengelabui mata kita akan informasi yang diterima oleh otak. 

Sunday 11 January 2015

Belajar Baca


              Sebagai manusia, kita tercipta sebagai makhluk sosial, keinginan dan hasrat kita untuk bertukar dan berbagi informasi tentunya tidak terbendung. Seiring dengan berjalannya waktu, manusia mulai merumuskan sistem komunikasi ini dalam bentuk suara dan terus berkembang hingga terciptanya suatu bahasa. Bahasa inilah yang kemudian secara bertahap memecah manusia jadi kelompok-kelompok kecil dengan cara berkomunikasi yang sama dan memisahkan diri dari kelompok dengan bahasa berbeda, yang tidak mereka mengerti.
 
            

Saat ini, kita hidup di tengah masyarakat modern dengan informasi yang bertumpah ruah, sehingga kadang sulit untuk memilih informasi mana yang patut diserap. Di tengah hiruk pikuk dan kecepatan dunia modern, setiap individu berpegang kepada apa yang mereka pahami dan bahasa sebagai identitas diri, inilah yang membedakan antara  individu satu dengan yang lainnya. Informasi yang tumpah ruah inilah yang juga kemudian mengembangkan individu satu dengan yang lainnya. Damono ( Pancasila, Pascasarjana, Coca- cola, Majalah Tempo, 5 Mei 2014, hal 1 ) menulis :“Memang, kita tidak hanya memliki kualitas telinga yang berbeda-beda, tapi juga ‘watak’ mulut yang berlain-lainan. Dan ketika mengubah bunyi menjadi gambar pun, kita menghasilkan berbagai jenis aksara yang tentu saja harus sesuai dengan telinga dan mulut masing-masing.” 


Secara sadar maupun tidak, kita membawa identitas kita di dalam pelafalan suatu kata yang kita baca. Mencoba menyerap apa yang saat ini terjadi di masyarakat, penulis mencoba untuk memandang lebih jeli ke kultur dan karakter masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa dalam kebiasaan membaca. Apakah mungkin bagi kiita untuk mengeluarkan bunyi yang tepat jika tidak membaca dengan tepat pula?   

        
Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia mencapai rasio satu banding seribu. Namun penulis tidak menganggap angka ini mengagetkan karena ini bisa dilihat dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Sebagai seorang broadcaster, penulis mendapati bahwa kebiasaan masyarakat untuk tidak membaca satu kata dengan tepat sampai habis sudah cukup mencemaskan. Kemalasan membaca ini seakan merebak dalam masyarakat yang kemudian penuh dengan asumsi dalam menulis dan juga mengucapkan suatu kata. 


Pada prinsipnya dalam dunia komunikasi, kata-kata yang kita ucapkan haruslah tepat. Maka dari itu, dalam mengucapkan suatu kata dengan tepat, kita harus mengetahui tempat asal kata tersebut, dan juga bagaimana kebiasaan masyarakat daerah asal mengucapkan. Kita ambil contoh roti croissant asal Prancis. Banyak masyarakat Indonesia yang menyebut roti ini dengan “kroisan” atau “kroisang” dimana keduanya keliru, karena cara membaca yang benar adalah “kroasong”. 


Argumentasi Damono mengenai cara ucap dan kultur yang melekat di lidah kita memang merupakan hal yang tentunya menjadi ciri, namun penulis merasa baik halnya sebelum mengucapkan kalimat, haruslah kita baca dulu dengan tepat. Dan cara membaca dengan baik dan benar inilah yang harus dijadikan budaya yang melekat pada setiap orang.