Saturday 22 December 2012

How to be a Dreamer?

Why dreaming? Because it is God's greatest blessing, why not concentrate on real life? Karena realita akan tetapi jadi realita jika kita tidak punya mimpi yang cukup besar untuk mengembangkan mimpi itu sendiri.

Sejak kecil saya punya kebiasaan bermimpi, baik saat saya sedang tidur ataupun saya sedang terjaga. Saya mempunyai plot di dalam pemikiran saya untuk setiap hal. Semua kejadian ada skenario kedua-nya (bahkan skenario kelima-nya, with alternate endings), skenario yang saya buat adalah skenario dimana saya yang akan menjadi tokoh sentral-nya, dan saya bisa menjadi makhluk paling egois di dalam cerita itu.

To dream is an everyday journey. Jika menerapkan pemikiran untuk bermimpi setiap harinya, perjalanan ke kantor akan terasa seperti perjalanan menuju kastil untuk mengalahkan naga. Menelusuri kerumunan orang akan terasa seperti melewati sekelompok zombie dan berpura-pura menjadi salah satu dari mereka, agar tidak diserang. 

Nah itu tadi mimpi yang bisa kita ciptakan, mimpi yang bisa kita lakukan saat kita terjaga. Bagaimana dengan mimpi yang hadir saat kita sedang tidur? Mimpi yang adalah bunga tidur, menurut saya mimpi yang tiap malam saya rasakan adalah pokok pikiran hari itu, esensi kejadian yang terakumulasi. Kadang kejadian yang kita alami dan menyusup ke dalam mimpi memang bukan hal yang terpenting yang terjadi pada hari itu, tetapi mungkin di bagian terkecil di otak kita (atau hati) merasa itu adalah hal yang penting.

Jujur, jika saya tidur terlelap dan tidak bermimpi adalah satu hal yang paling saya benci, setiap hari saya menunggu untuk dikejutkan oleh mimpi nanti malam. Ketika bermimpi bertemu idola saya (Thom Yorke) dan bisa bicara dengan dia, saat terbangun di pagi hari, saya cukup semangat untuk benar-benar bekerja agar bisa menonton konser-nya suatu hari di suatu tempat. Ataupun ketika saya sedang merasa menjadi orang yang sangat membosankan, dan malamnya saya bermimpi memegang senapan dan berada di menara tertinggi, untuk membasmi semua zombie didunia, that really makes me feel special and unique again! 

Lalu untuk apa saya menulis mengenai dunia mimpi? Dan siapa yang mau membaca tentang mimpi? Saya hanya ingin menjelaskan bahwa bermimpi itu tidak pernah salah. Mimpi itu tidak berhenti ketika seseorang menjadi dewasa. Bermain dengan pikiran tidak terbatas hanya untuk anak-anak saja. Perhatikan hal-hal kecil yang terjadi didalam hidup anda, jangan pernah terbatas dengan realita yang sudah ada di depan mata kita. Karena ketika kita menutup mata, barulah hal-hal yang luar biasa indah bisa terjadi bukan? 

Make your day an adventure, dimulai dengan bangun pagi, dan masuk ke kamar mandi, anggaplah pancuran air itu adalah air terjun ajaib yang bisa memberi kekuatan bagi orang, dan kita adalah orang yang memohon kekuatan gaib itu. Lalu dilanjutkan dengan makan pagi, bayangkan makanan itu adalah oli untuk anda yang ternyata adalah robot, lalu mulailah tularkan pemikiran ini di setiap rentetan kejadian yang akan anda alami di hari itu. Try! It will definitely make you feel more powerful.. :)

The Journey to Find Confidence II

Meskipun saya lulus dari SMA dengan nilai yang cukup baik, saya tetap memilih mengejar passion saya di seni. Akhirnya saya memilih untuk masuk ke sekolah seni, disini saya cukup banyak memupuk diri saya, meskipun terkubur tugas kuliah yang begitu banyak dan seringkali tidak dapat menemukan waktu untuk mengerjakan personal project, tapi yang diajarkan di sekolah ini sangat membuat saya tertantang, dan akhirnya makin banyak keterampilan yang saya miliki dalam mengolah karya saya.


Halfway through my education, saya mengalami kejadian paling pahit dalam hidup saya. Saya kehilangan seorang pria yang menjadi mentor saya, teman saya, orang yang paling baik, paling sabar yang pernah saya kenal, Ayah saya. Soehartono Dachlan, ia meninggal karena sakit kanker yang sempat ia derita selama hampir 5 tahun. Di akhir hidupnya, yang paling menyakitkan untuk saya adalah kenyataan bahwa saya belum jadi "orang" ketika dia pergi. I was only 20 years old, and I haven't done anything to make him proud. Tapi saya cukup bersyukur atas waktu yang telah Tuhan berikan di akhir hidupnya, saya masih bisa merawat dia sampai dia dipanggil Yesus.



Setelah kematian Ayah saya, saya berjanji akan menjadi anak yang jauh lebih baik. Saya berjanji akan menyenangkan ibu saya, satu-satunya orang tua saya yang tersisa di dunia. Saya yang diujung pendidikan S1 saya, diminta oleh ibu saya untuk mengikuti suatu ajang kompetisi modeling, yang jujur tidak pernah terbesit ingin saya ikuti. Saya, gadis idealis yang tidak percaya dengan dunia yang materialistis, harus mengikuti ajang dimana isinya hanya gadis-gadis yang berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan dia?


Saya tetap bersikeras tidak mau mengikuti ajang ini, sampai seseorang mengatakan "kirim aja dulu, emang pasti masuk apa?!" entah kenapa kata-kata ini membekas, seakan menantang saya, and I really like challenges. So I sent the application form, along with the essay. Ini memang benar-benar dunia baru untuk saya, namun saya disambut dengan begitu lancarnya jalan yang sudah tertata, semua begitu cepat, dan saya berhasil jadi yang terbaik. 

Kemenangan ini adalah suatu berkat dan sekaligus kutukan untuk saya. Seseorang yang begitu pemalu, senang bekerja dibelakang layar, dan mengungkapkan semuanya melalui karya, akhirnya harus maju ke depan kamera, menumbuhkan rasa percaya diri, dan yang terpenting adalah merasa bahwa saya adalah wanita cantik.

Cantik adalah kata yang selalu jauh dari saya. Saya tidak pernah dianggap orang lain cantik, saya gelap, aneh, egois, kasar, untuk menjadi wanita cantik adalah sesuatu yang saya benar-benar tidak mengerti. Terjunlah saya dalam ikatan agency, untuk menjadi model selama 1 tahun, inilah yang akhirnya mengubah saya menjadi gadis yang cukup toleran dan cukup terbuka, meskipun sisa idealisme masih banyak melekat di diri saya. 

Begitu banyak pilihan langsung hadir didepan saya, begitu banyak kesempatan, begitu banyak jalan, begitu banyak keinginan. Akhirnya saya berjalan dengan 1 keinginan, yaitu akan kembali berkarya di bidang seni. Apapun saya lewati, dan saat ini, apa yang saya lakukan di depan kamera kadang membunuh saya sedikit demi sedikit, saya masih belum pernah bisa berdiri dengan tegar didepan lensa. Saya masih merasa terancam, dan seperti akan terbunuh, sangat berbeda ketika saya memegang pensil dan kertas, saya merasa itu adalah bagian dari saya.

Namun, inilah pekerjaan saya, menjadi seorang jurnalis, atau so-called news anchor. Pekerjaan yang cukup idealis dengan tantangan diri paling berat, yaitu tampil di depan publik. Saya harap keputusan saya memasuki dunia ini akan memberi faedah dalam hidup saya selanjutnya. Dengan masuk ke dunia yang paling tidak terpikirkan sebelumnya, saya harap saya akan dapat tantangan yang jauh lebih besar dari orang lain. Saya bangga bisa menarik diri saya untuk keluar dari comfort zone, dan bekerja dengan orang lain dan menjadi seseorang yang cukup outgoing. Dengan ini saya menantang diri saya untuk tidak menjadi orang yang tertutup. 

Namun apapun yang saya jalankan hingga saat ini akan kembali bermuara di seni. Seni adalah balance yang saya perlukan di hidup saya. Seni tidak punya batasan, seni tidak menuntut apapun, seni adalah hidup. Saya harap di akhir hidup saya, dunia seni akan kembali memeluk saya dalam kehangatannya..

Thursday 13 December 2012

The Journey to Find Confidence

Harus dimulai dari mana ya? Pada dasarnya, hidup adalah mencari keseimbangan, pelukis terkenal Henri Matisse pernah mengatakan What I dream of is an art of balance. So there we go, semua memang harus mencari keseimbangan dalam hidup masing-masing, juga dengan kadar keseimbangan berbeda-beda.


Mungkin bisa dimulai dari anak kecil yang cukup aktif, tidak banyak intrik, semua berjalan seperti seharusnya. Sebagai anak terakhir dari 3 bersaudara (perempuan semua), saya cenderung untuk melakukan semuanya dengan kiblat kakak saya. Dibesarkan dengan cara yang cukup tegas, kedua orang tua saya cukup protektif terhadap ketiga anaknya, hal ini juga yang makin memicu kenakalan anak (yang saat itu masih dalam tahap mencari jadi diri). 

Saya, sebagai seorang anak, tumbuh dengan keinginan untuk dianggap sudah dewasa. Beda umur yang cukup jauh dengan kedua kakak saya, membuat saya harus mencuri perhatian mereka, dan berlagak dewasa (meskipun belum) agar bisa diajak main atau nongkrong bersama. Hingga suatu saat, ketika saya duduk di bangku SMP, saya sadar bahwa kedua kakak saya cukup berulah, dan memusingkan kedua orang tua saya. Akhirnya tumbuhlah sikap, tidak ingin dianggap sama seperti mereka, tidak mau mengecewakan orang tua dan mulai mencari jati diri sendiri.

Saya memilih sekolah yang berbeda dengan mereka, saya mencoba mencari sesuatu yang unik dalam diri saya. Namun keinginan saya ini, bertentangan dengan keinginan ibu saya, yang memang menginginkan anak idaman (meskipun nakal) seperti kedua kakak saya. They both go to the same pre-school, elementary school, junior high school, high school, and even the same major at the same college. Untuk ibu saya, menjadi dokter adalah impiannya untuk anak-anaknya, dan kenyataan bahwa anak bontot-nya mau mengambil jalan berbeda adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.

Ibu saya cenderung menganggap saya tidak pintar, tidak berbakat, tidak bisa diatur, inilah kemudian yang makin membuat saya tertutup, makin mencoba mencari apa sebenarnya yang saya inginkan dalam hidup? Mungkin terkesan aneh, tapi saya bersyukur bahwa ibu saya tidak pernah mendukung saya dalam melakukan apapun yang saya inginkan, karena pada akhirnya saya terjun lebih banyak dalam meditasi, dan pencarian jati diri itu sendiri. I don't think I can be the person that I am today, If she believes in me from the start, so.. Thanks mom. 

The highlight of my life, seperti juga kebanyakan orang, adalah saat saya duduk di bangku SMA. Meskipun kadang ada orang yang masa SMA-nya pahit, tapi percayalah bahwa memang ini adalah tahapan untuk menjadi diri kita sesungguhnya. Saya tumbuh menjadi gadis remaja yang cukup tertutup, meskipun saya cukup bermain, tapi saya lebih banyak menghabiskan waktu saya sendirian dan menggambar. Cara saya mengekspresikan diri lewat karya saya adalah cara meditasi yang paling cocok, dan saya bersyukur saya menemukan cara itu, karena tanpa kegiatan ini, saya tidak tahu apakah saya menemukan jatidiri saya atau tidak.

Saya jarang berkomunikasi langsung dengan orang, dan meski saya senang berargumen, saya lebih banyak menuangkan argumen itu ke dalam karya saya. Tumbuhlah saya sebagai gadis pemalu, yang tidak pandai berhubungan sosial. I spent my time reading fantasy books. Imajinasi ini juga membuahkan karya yang banyak, saya terpukau dengan dunia mimpi, dimana disana banyak hal tidak terduga, dan saya tidak perlu menjadi diri saya seutuhnya yang seringkali tidak cocok dengan orang lain. Di dunia mimpi, saya disambut setiap kali saya datang. It's like a liquid form of everything.. Time, people, events.. Anything can happen, anything beyond your prediction. I'm fascinated by this thought.

Keterpukauan saya pada dunia mimpi sebenarnya tidak membantu saya sama sekali, saya malah makin menjauh dari orang lain, karena saya lebih suka berada di dalam kamar saya dan kembali melukis. Saya makin menarik diri dari kehidupan sebenarnya.