Wednesday, 18 February 2015

Perception Vs Reality


Pengalaman tiap orang dalam melihat suatu benda membawa setiap manusia dalam pemahaman dan pembentukan persepsi, yang mana dalam melihat dan menginterpretasi suatu bentuk visual sebenarnya datang dengan suatu sistem pemahaman yang kadang kita pahami secara otomatis dan tidak menyadari saat kita melakukannya. Ketika cahaya tertangkap oleh retina, otak kita menangkap sinyal ini dalam waktu sangat cepat, hanya sepersepuluh detik saja. Maka dari itu, otak manusia bekerja dalam keadaan otomatis dengan mengartikan apa yang ada di depannya dengan melihat ke masa depan, tanpa memahami keadaan yang kita lihat sesungguhnya. Perlu dipahami, bahwa tanpa pemahaman yang ‘sadar’ maka sesungguhnya otak dan mata kita bekerja secara otomatis tanpa kesadaran.

Penjelasan ini sangat menarik jika kita tarik dalam konteks ilusi visual yang terus menerus menipu cara kerja otak maupun mata kita. Dalam suatu karya optical illusion cara kerja otak dan mata kadang dipermainkan untuk membuat satu persepsi baru yang menipu kedua organ kita ini. Melalui ilusi optik kita bisa melihat bahwa suatu garis yang lurus bisa seakan melengkung, atau benda dengan besar yang sama terlihat berbeda jika dikacaukan dengan beberapa benda lain yang ditaruh dengan sengaja di dekatnya. Ilusi yang diciptakan oleh sistem penangkapan cahaya melalui mata inilah yang sebenarnya adalah hubungan antara mata dan otak yang tidak sinkron, sehingga menciptakan sesuatu yang berbeda dari apa yang ada.

Dalam beberapa kasus, ilusi optik disebabkan oleh mata yang mencoba untuk mencari jalan pintas dalam menginterpretasikan gambar yang diterima di dalam otak, padahal apa yang sebenarnya ditangkap, jika mau dipandang lebih jelas akan menghasilkan interpretasi yang berbeda.







Ilusi optik sebagai salah satu cara untuk mengelabui mata ini, juga menjadi cara bagi banyak seniman untuk mengeksplorasi karya mereka. Kita bisa sebut beberapa diantaranya adalah Salvador Dali yang banyak menggunakan ilusi optik dalam menggambarkan suatu bentuk sedangkan sebenarnya berasal dari bentuk lain. Sebut juga, M.C. Escher yang sering membuat gambar di atas gambar dengan pola terbolak balik. Yang sangat menonjol dari beberapa seniman-seniman yang penulis sebutkan di atas adalah ketertarikan mereka dengan dunia sains yang bisa secara detail mereka torehkan di atas kanvas mereka.

Misalnya saja Salvador Dali seniman beraliran surealisme yang kerap membuat ilusi optik dengan kedalaman yang bervariasi di dalam lukisannya ternyata memiliki ketertarikan besar pada teori psikoanalisis dari Sigmund Freud. Di dalam perpustakaannya juga dipenuhi oleh berbagai macam buku mengenai fisika, kimia, teori dasar kehidupan, evolusi dan juga matematika. Maka bisa disimpulkan bahwa untuk membuat karya yang luar biasa detail seperti ilusi optik yang penulis sebutkan di atas, memerlukan presisi yang sangat baik dalam perhitungan kedalaman perspektif, sehingga ilusi yang benar-benar diinginkan dapat terwujud.

Dalam teorinya, untuk membuat ilusi optik bukanlah hal yang sulit dilakukan karena semua manusia mempunyai kebiasaan yang sama. Mata kita mencari apa yang menjadi lazim dan sering kita lihat di kehidupan sehari-hari. Bukan tidak mungkin dengan melalui pembelajaran yang lebih detail setiap orang dapat membuat ilusi optik hanya dengan bermodalkan penggaris semata. Namun, seiring dengan eksplorasi yang biasanya dilakukan oleh para pelukis terkenal, biasanya semakin rumit pula ilusi optik yang bisa diciptakan dalam kanvas mereka.



Salah satu karya Salvador Dali berjudul L’Amour de Peirrot lengkap dengan ilusi optik yang dapat langsung kita lihat, yaitu tengkorak yang menyeruak ditengah gambar dua orang yang sedang menikmati anggur sambil bercengkrama. Dalam karya ini, mau tidak mau mata kita akan lebih dahulu mengartikan tengkorak yang Nampak lebih dominan dan lebih jelas jika dibandingkan dengan kedua orang di dalam gambar ini.

Apa yang dilakukan sang seniman dalam kanvas atau bidang datar ini sudah hampir 1 abad yang lalu, tentunya bukanlah menjadi hal yang sulit bagi para seniman di zaman modern ini untuk berkarya dan mengekplor lebih jauh mengenai ilusi optik. Beberapa seniman modern yang sering bereksperimen dengan gaya ini adalah Damien Gilley yang biasa memanfaatkan ruangan untuk menjadi media berkarya untuk memperlihatkan ilusi kedalaman yang dapat ia ciptakan melalui objek datar. Karyanya biasa mengeksplor kedalaman dengan ketepatan ukuran dan panjang garis yang ia biasa torehkan di atas dinding, hasil ilusi yang ia ciptakan adalah kedalaman 3 dimensi yang membuat penikmatnya seakan diajak masuk ke dalam ruangan lain.






Yang menarik untuk dicermati adalah perhitungan yang dilakukan sangat detail dalam pengerjaannya sehingga tercipta satu garis sempurna dan kedalaman dalam sebuah karya dengan bidang datar. Selain Gilley masih banyak juga seniman-seniman kontemporer lain yang juga melakukan ilusi optik di dalam karya mereka, diantaranya Erik Johansson fotografer asal Swedia yang banyak mengambil gambar pemandangan untuk kemudian dieksplor dengan ilusi optik. Atau Felice Varini yang menggunakan objek-objek geometris dalam membuat karya di dalam suatu bidang 3 dimensi.




Selain digunakan sebagai media ekplorasi seni bagi beberapa seniman sejak berabad-abad lalu, ilusi optik juga mulai merambah ke dunia periklanan dan masuk ke dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia. Bisa kita cermati beberapa penerapan yang menarik yang bisa kita temui di jalan. Jika mau lebih jeli melihat, sekarang sudah banyak diantara kita hiburan yang biasa dilakukan di beberapa tempat hibutan, misalnya dengan lukisan 3D yang bisa dijadikan objek foto. Tidak hanya itu saja, ilusi optik juga mulai digunakan menjadi cara untuk memasarkan suatu barang, terlebih digunakan oleh merk high fashion terkenal asal Prancis yaitu Louis Vuitton yang bisa kita lihat juga di beberapa mall di Jakarta.






Maka dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa dalam keseharian kita juga banyak karya-karya menarik yang di dalamnya terkandung unsur ilusi optik. Dan yang menjadi tantangan adalah cara dari kita sebagai para pengamat untuk melihat dengan baik apa yang sebenarnya tersembunyi di balik suatu karya seni lengkap dengan perhitungan-perhitungan detail sehingga mampu mengelabui mata kita akan informasi yang diterima oleh otak. 

Sunday, 11 January 2015

Belajar Baca


              Sebagai manusia, kita tercipta sebagai makhluk sosial, keinginan dan hasrat kita untuk bertukar dan berbagi informasi tentunya tidak terbendung. Seiring dengan berjalannya waktu, manusia mulai merumuskan sistem komunikasi ini dalam bentuk suara dan terus berkembang hingga terciptanya suatu bahasa. Bahasa inilah yang kemudian secara bertahap memecah manusia jadi kelompok-kelompok kecil dengan cara berkomunikasi yang sama dan memisahkan diri dari kelompok dengan bahasa berbeda, yang tidak mereka mengerti.
 
            

Saat ini, kita hidup di tengah masyarakat modern dengan informasi yang bertumpah ruah, sehingga kadang sulit untuk memilih informasi mana yang patut diserap. Di tengah hiruk pikuk dan kecepatan dunia modern, setiap individu berpegang kepada apa yang mereka pahami dan bahasa sebagai identitas diri, inilah yang membedakan antara  individu satu dengan yang lainnya. Informasi yang tumpah ruah inilah yang juga kemudian mengembangkan individu satu dengan yang lainnya. Damono ( Pancasila, Pascasarjana, Coca- cola, Majalah Tempo, 5 Mei 2014, hal 1 ) menulis :“Memang, kita tidak hanya memliki kualitas telinga yang berbeda-beda, tapi juga ‘watak’ mulut yang berlain-lainan. Dan ketika mengubah bunyi menjadi gambar pun, kita menghasilkan berbagai jenis aksara yang tentu saja harus sesuai dengan telinga dan mulut masing-masing.” 


Secara sadar maupun tidak, kita membawa identitas kita di dalam pelafalan suatu kata yang kita baca. Mencoba menyerap apa yang saat ini terjadi di masyarakat, penulis mencoba untuk memandang lebih jeli ke kultur dan karakter masyarakat Indonesia sebagai suatu bangsa dalam kebiasaan membaca. Apakah mungkin bagi kiita untuk mengeluarkan bunyi yang tepat jika tidak membaca dengan tepat pula?   

        
Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia mencapai rasio satu banding seribu. Namun penulis tidak menganggap angka ini mengagetkan karena ini bisa dilihat dari fenomena yang terjadi di masyarakat. Sebagai seorang broadcaster, penulis mendapati bahwa kebiasaan masyarakat untuk tidak membaca satu kata dengan tepat sampai habis sudah cukup mencemaskan. Kemalasan membaca ini seakan merebak dalam masyarakat yang kemudian penuh dengan asumsi dalam menulis dan juga mengucapkan suatu kata. 


Pada prinsipnya dalam dunia komunikasi, kata-kata yang kita ucapkan haruslah tepat. Maka dari itu, dalam mengucapkan suatu kata dengan tepat, kita harus mengetahui tempat asal kata tersebut, dan juga bagaimana kebiasaan masyarakat daerah asal mengucapkan. Kita ambil contoh roti croissant asal Prancis. Banyak masyarakat Indonesia yang menyebut roti ini dengan “kroisan” atau “kroisang” dimana keduanya keliru, karena cara membaca yang benar adalah “kroasong”. 


Argumentasi Damono mengenai cara ucap dan kultur yang melekat di lidah kita memang merupakan hal yang tentunya menjadi ciri, namun penulis merasa baik halnya sebelum mengucapkan kalimat, haruslah kita baca dulu dengan tepat. Dan cara membaca dengan baik dan benar inilah yang harus dijadikan budaya yang melekat pada setiap orang. 

Monday, 24 November 2014

Kebudayaan di Sekitar Kita


Bicara mengenai arti kebudayaan bagi bangsa Indonesia, tentunya tidak bisa dipungkiri dari akar yang mendarah daging tentunya Bahasa Indonesia yang setiap tanggal 28 Oktober kembali kita ucapkan, yaitu menjunjung Bahasa Indonesia. Jika melihat keadaan Bahasa Indonesia ditengah dunia modern saat ini, tentunya kita termasuk bangsa yang menjunjung tinggi bahasa ibu. Ini dibuktikan dalam sejarah bahwa Indonesia baru memasukkan Bahasa Inggris dalam kurikulum pendidikan pada tahun 1967. Namun sejak saat itu, kemampuan berbahasa asing bangsa Indonesia makin terasah, hal ini juga berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, kemampuan berbahasa Inggris seperti menjadi kemampuan mutlak yang harus dimiliki jika seseorang mau melamar kerja. Kemampuan berbahasa Inggris mutlak diperlukan untuk bertahan hidup di Jakarta.

Keberadaan Bahasa Indonesia sebagai jatidiri bangsa mulai terancam di kota-kota besar, salah satunya di Jakarta. Menurut catatan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2014 saja ada 111 sekolah internasional di Indonesia. Sekolah internasional hampir 1000% lebih mahal jika dibandingkan dengan sekolah negeri, Namun para orang tua berlomba-lomba untuk mendapatkan pendidikan ini. Lalu bagaimana dengan hasilnya? Seringkali kita jalan di ruang publik dan mendengar anak berumur 5 tahun bicara bahasa Inggris dengan fasihnya, tanpa terbata-bata, seakan itu adalah bahasa ibu. Terkadang malah sang ibu yang kesulitan berkomunikasi dengan anaknya yang sangat fasih berbahasa asing dan kurang mengerti bahasa Indonesia yang baik dan benar. Sudah jelas benar bahwa anak yang terbentuk seperti ini tidak akan mengalami benturan keras ketika melamar kerja jika ia sudah dewasa nanti, skill bahasa Inggris seperti ini tentunya menjadi factor penting dalam komunikasi internasional. Namun yang jadi pertanyaan apakah kita membesarkan semua anak kita untuk berkiprah dalam dunia bisnis yang penuh dengan kepentingan asing? Apakah kita harus mendidik anak kita agar patuh terhadap apa yang dikatakan bangsa lain untuk memajukan ekonomi Indonesia sebagai satu-satunya aspek yang harus diperjuangkan dalam hidup mereka?

Yang cukup menakutkan adalah jika kita membayangkan anak-anak ini tumbuh dewasa dengan kemampuan komunikasi terbatas baik lisan maupun verbal, dan anak-anak ini kehilangan bahasa mereka sendiri. Bayangkan suatu saat nanti tidak ada lagi generasi yang bisa membaca buku-buku sastra Indonesia? Bahkan tidak ada lagi komunikasi khas jalanan yang kental dengan bahasa asli dari daerah tersebut. Fenomena ini harus digarisbawahi sebagai runtuhnya generasi penerus Bahasa Indonesia.

Kecintaan pada Bahasa sendiri bisa kita lihat pada Negara Jepang. Dengan situasi di era modern dimana informasi bisa datang dari semua tempat, Jepang merupakan salah satu Negara dengan teknologi paling modern dan paling berkembang pesat. Budaya masyarakat Jepang disusupi teknologi yang luar biasa canggih dalam kesehariannya. Namun ada hal yang sangat penting, yang tidak bisa disusupi yaitu kecintaan masyarakat Jepang pada bahasa ibu mereka. Kecintaan inilah yang menjadikan Bahasa Jepang sebagai bahasa ke-6 yang paling banyak dipelajari di seluruh dunia.

Kembali lagi ke akar dan kultur bangsa, dalam berbudaya seringkali Indonesia mengalami benturan dengan negeri tetangga, yang tak lain tak bukan, yang berbatasan langsung dengan Indonesia, yaitu Malaysia. Kita bersaing dengan Malaysia tidak hanya dalam olahraga, tetapi juga dalam klaim budaya. Kasus klaim batik sebagai budaya bangsa memang dimenangkan oleh Indonesia, tetapi mengapa pula harus demikian? Jika nenek moyang kita merekam sesuatu di atas kain, bukankah berarti ada juga yang melakukan hal itu? Afrika juga dikenal sebagai benua yang memiliki banyak kain tradisional dengan motif yang tidak kalah menarik dibanding motif batik Indonesia.
Suatu budaya berkembang dengan beragam nilai yang bisa dipetik dari berbagai hal, Namun penerapan budaya yang diserap dalam suatu daerah, dalam hal ini dalam suatu Negara, tentunya haruslah berkembang dan sesuai dengan pola pikir dan kebiasaan dari masyarakan yang berada di daerah tersebut. Maka bukanlah suatu hal yang disarankan bahwa dalam keadaan dunia modern seperti ini kita sebagai Negara timur membuka diri sebesar-besarnya terhadap kebudayaan yang saat ini merajai dunia. Seharusnya kita sudah memiliki ide atau gambaran besar, road map, dalam membawa budaya Indonesia menjadi salah satu budaya paling dikenal di dunia. Kita sebagai bangsa Indonesia, yang tentunya memiliki nasionalisme yang kuat, sudah harus menyusun strategi untuk berperang di dalam dunia, dengan senjata yang paling kuat, yaitu budaya Indonesia.
     
       Budaya dengan segala keindahannya juga adalah salah satu alat politik. Misalnya dalam gemerlap dunia K-Pop yang saat ini sedang merajalela tersisip pula maksud dan tujuan dari Negara penghasil budaya ini yaitu Korea. Korea sebagai salah satu Negara dengan ekonomi yang paling kuat saat ini di dunia, menunjukkan kekuatannya salah satunya dengan merajai dunia dengan budaya pop asal negeri ginseng ini yang lengkap dengan semua warna-warni budaya K-Pop. Hal ini diakui oleh Korea sebagai salah satu alat untuk menantang Amerika, yang selama ini merajai tangga lagu dunia dan juga panggung dunia hiburan. K-Pop datang dengan kualitas penyanyi yang sekadarnya, bahkan kadang tidak bisa bernyanyi sama sekali, Namun yang luar biasa adalah cara pengemasan yang dilakukan dengan seapik-apiknya, sehingga memberikan pertunjukkan luar biasa bagi para penonton yang langsung dibuat terhipnotis.
    
       Tidak hanya dengan penampilan yang luar biasa, tetapi panggung dunia hiburan juga diobrak-abrik sistemnya oleh K-Pop, atau dalam hal ini oleh Korea. Yang biasanya seorang artis, atau penyanyi, atau sebuah grup mencari uang dari penonton lewat konser dan penjualan album, kali ini Korea menambahkan beberapa aspek yang menarik, diantaranya lewat proses meet and greet yang dipungut biaya cukup besar, yang kemudian dilakukan sangat sering, dengan skala yang besar, sehingga menjadi salah satu faktor keterikatan penggemar dengan sang idola.
      
       Besarnya Korea di panggung dunia hiburan saat ini bukanlah kebetulan semata, para ahli kebudayaan di Korea maupun pemerintah paham betul akan potensi budaya mereka, yang juga dibumbui oleh dendam akan dominasi budaya Amerika yang setiap kali disajikan di panggung dunia hiburan. Kesuksesan Korea dalam menaklukkan dunia hiburan sudah dipersiapkan sejak lama, sehingga masyarakat Korea tumbuh dalam rencana menaklukkan dunia dalam arti sebenarnya. Korea juga adalah salah satu Negara yang masih menjalankan wajib militer bagi para remaja disana, bahkan salah satu personil dari Super Junior – boy band fenomenal asal Korea – sempat rehat dari karirnya untuk mengikuti wajib militer, ini juga merupakkan salah satu cara dari pemerintah Korea Selatan untuk membuat masyarakat, khususnya kaum muda, mengerti akan tanggung jawabnya sebagai warganegara.

Kesuksesan K-Pop dalam menaklukkan dunia hiburan tentunya berimbas sangat baik pada ekonomi Korea Selatan, saat ini Korea Selatan merupakan Negara ke 12 dengan ekonomi terkuat di dunia. Korea berkembang pesat dalam industri kreatif dan juga industri mesin. Yang ingin ditekankan disini adalah betapa suatu budaya dapat memberikan efek positif terhadap perkembangan ekonomi, apalagi jika kebudayaan itu adalah kebudayaan mengakar, yang kemudian memberikan perbedaan yang sangat jelas dengan kebudayaan lain. Kebudayaan yang kuat adalah kebudayaan yang mempunyai identitas. Kebudayaan yang berbeda, menjadikan suatu Negara unik.

 Pendapat Sapardi Djoko Damono yang mendalam mengenai membuka diri dan membuka pikiran kepada kebudayaan lain, bahkan diharuskan untuk mencari dan mencuri kebudayaan asing untuk diserap menjadi kebudayaan baru, tidak sepenuhnya benar. Hal ini dikarenakan dalam melihat suatu budaya, masyarakat yang menetap dalam suatu Negara haruslah jeli. Dalam era modern dengan teknologi dan informasi yang berlimpah, kebudayaan suatu Negara memang pasti dipengaruhi oleh kebudayaan lain, Namun tentunya kedewasaan kebudayaan dari Negara kita sendiri – Indonesia – bisa terlihat ketika masyarakat tidak langsung menyerap dan membawanya ke dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat Indonesia sudah melakukan apa yang memang seharusnya dilakukan suatu budaya dewasa, yaitu memilih dan menyeleksi apa kebudayaan yang cocok diterima, dan apa yang harus ditolak.

Sapardi Djoko Damono, menggambarkan sebuah analogi yang menarik untuk membedakan cara melihat masyarakat Indonesia zaman dahulu ketika menyerap Gatotkaca dan Mahabharata yang berasal dari India untuk kemudian masuk kedalam budaya Indonesia, hal ini sangatlah berbeda dengan cara masyarakat modern menanggapi tokoh Superman dan menyerapnya didalam budaya Indonesia. Bukanlah tidak mungkin seseorang sangat mencintai tokoh superhero Superman, namun yang harus diingat oleh Sapardi Djoko Damono, penerapan budaya di dalam kehidupan tidaklah seperti dulu lagi. Masyarakat yang benar-benar suka dengan Superman, tidak lagi terhipnotis kemudian memahatnya dalam relief di rumah mereka, Namun penerapan yang lebih popular seperti menggambarnya di dalam buku mereka, lebih masuk akal. Masyarakat Indonesia sudah tahu benar bagaimana cara membawa pengaruh budaya asing ke dalam kehidupan mereka sehari-hari tanpa merusak nilai-nilai kebudayaan yang dipercayai oleh mereka.

Belajar dari beberapa kebudayaan yang dianggap belum dewasa, sebut saja budaya dari benua Afrika (mayoritas, karena tentunya Afrika terdiri dari banyak budaya), karena masyarakat asli yang menetap di Afrika mudah percaya dan membuka diri terhadap kebudayaan asing, hingga saat ini penerapan bahasa yang menyatu masih sulit ditemukan oleh benua hitam ini. Tidak hanya itu, budaya Afrika yang masih sangat dekat kepada alam dan belum mengalami fase pendewasaan, seringkali dibuat sedemikian rupa sehingga bisa menguntungkan para pendatang, bahkan hampir semua Negara barat mempunyai kepentingan di benua yang kaya raya dengan mineral bumi ini.

Tentunya seperti kita telah pelajari dalam sejarah bahwa Indonesia sudah berulangkali mengalami penjajahan, mulai dari yang bertahan berabad-abad, hingga yang hanya bertahan beberapa tahun saja, proses inilah yang mendewasakan budaya Indonesia, sehingga budaya Indonesia sudah berkembang menjadi budaya yang penuh dengan kebijaksanaan. Sangat jauh dari bijaksana, bila bangsa Indonesia menyerap semua kebudayaan asing yang sarat akan kepentingan politik dalam situasi dunia saat ini. Yang diperlukan adalah kedewasaan masyarakat untuk benar-benar mengerti akan potensi budaya yang dipegang oleh Indonesia, dan mau menjual juga membanggakan budaya Indonesia, sehingga bisa diberdayakan semaksimal mungkin di dunia. Belajar dari apa yang sudah dituliskan oleh sejarah Indonesia, untuk percaya dan membuka diri kepada masyarakat asing, bisa berimbas menetapnya mereka dan akhirnya merajalela di bumi pertiwi.

Sunday, 23 November 2014

HUMAN BEHAVIOUR


Manusia sebagai makhluk sosial yang selalu ingin berinteraksi satu dengan yang lain selalu menjadikan perilaku mereka unik dan menarik untuk diamati dari jauh. Namun keterbatasan waktu dan juga akses di dalam hidup seseorang mungkin menjadikan si sang objek tidak lagi valid dan harus dihormati dengan segalam hak yang memang harus dipenuhi sebagai warga negara, tentunya hak untuk hidup nyaman dan aman. Bertolak dari akal pikiran ini, maka kenyataannya yang bisa manusia amati hanyalah perilaku mereka dalam bermasyarakat dan interaksi mereka dengan lingkungan.

Jujur sebagai seorang manusia yang sudah berjalan di dunia ini selama lebih dari seperempat abad, saya masih tidak begitu mengerti dengan beberapa perilaku sosial yang seseorang bisa keluarkan di dalam konteks bermasyarakat. Hal inilah yang kemudian menantang saya untuk menelaah lebih lanjut, dan untuk mengerti lebih lanjut mengenai apa yang sebenarnya terjadi dalam pembentukan masyarakat dengan budayanya yang dibentuk oleh individu-individu yang datang dari berbagai tempat yang berbeda.

Kota adalah tempat, kota adalah wadah, kota adalah lokasi di mana seluruh interaksi yang membingungkan dan penuh dengan pertanyaan ini terjadi. Maka untuk mempelajari suatu kota besar yang tumplek blek dengan permasalahan yang berjuta-juta dan menjadikan tempat bertemunya manusia dengan karakter-karakter ajaib yang kemudian menghasilkan kebudayaan perkotaan tentunya bukan hal yang mudah, Namun pastinya adalah hal yang sangat menarik untuk sekedar dimengerti dan kemudian menjadi buah pikiran dalam menentukan wacana-wacana pilihan yang bisa menjadikan hidup masing-masing individu lebih bermakna. 

Tuesday, 14 January 2014

being too social, yay or nay?


It’s been a while since I write.. but to be honest I never stop writing inside my head. Ideas, thoughts, concepts  - or whatever you call it – has been flowing and flowing and flowing. Mungkin sudah saatnya untuk merenung dan kembali mengecap keegoisan yang biasanya saya hindari ketika bersama orang banyak, tapi di dalam rumah ini dan di dalam kamar ini, I can be myself.

Dimulai dari seseorang yang tidak pernah peduli akan pendapat orang lain, saya datang dengan begitu banyak pemikiran di kepala saya, tidak takut akan judgment, that’s always been me. Wild, free, and emotional, it’s always been me. I cry, I yell, I swear, but at the end of the day I paint, I write, I draw.

This has always been my issue, my social skill, tapi saya tidak pernah menyangka isu ini akan memberikan efek yang begitu besar untuk saya. Mungkin karena pekerjaan, ya mungkin karena itu. Pekerjaan saya menuntut saya untuk mempunyai skil sosial yang tinggi. Setiap hari bertemu dengan orang baru, bekerja dengan orang baru, belajar dengan orang baru. My job changed me in a way that I never thought possible. I begin to talk, I begin to listen, and what surprised me the most, I begin to care.

Saya tidak pernah mengira saya mengenal rasa takut, saya tidak pernah mengira saya bisa peduli akan pendapat orang. Ada baiknya bahwa saya akhirnya bisa merasa, saya bisa komunikasi dengan baik dan bisa mendengarkan orang lain.

Tapi kembali lagi setiap perubahan selalu punya sisi negatif, saat saya mulai merasa dan mulai berkumpul dengan orang banyak, saya kehilangan diri saya, keegoisan yang selalu menjadi identitas saya. Saya tidak bisa berkarya maksimal. Saya butuh effort sangat besar untuk sekadar memegang pensil, yang mana dulu saya tidak pernah bisa meletakkan pensil. Saya butuh waktu yang lama untuk menggodok konsep karya saya di kepala, yang mana dulu datang hanya dengan sekejap mata.

Berada bersama terlalu banyak orang akan membuat saya bias dan mempertanyakan apa yang sebenarnya saya inginkan untuk saya, bukan yang diinginkan orang lain untuk saya. Bersosialisasi membuat saya kadang berhenti berpikiran diluar batas, hanya karena saya takut dinilai orang buruk.

Mungkin konteks bersosialisasi yang saya bicarakan ini berbeda dengan bersosialisi dengan teman dekat, sahabat dan mereka yang menerima saya apa adanya. Mempunyai jaringan sosial sangat amat penting untuk hidup dan bertahan hidup ditengah derasnya arus metropolitan. Dengan mengenal banyak orang, kita mampu keluar masuk dan ditolong dalam situasi apapun. Tetapi kembali lagi, kalau kita harus berubah dan berhenti berkarya karena dunia sosial yang begitu jahat, is it really worth it?

Saturday, 22 December 2012

How to be a Dreamer?

Why dreaming? Because it is God's greatest blessing, why not concentrate on real life? Karena realita akan tetapi jadi realita jika kita tidak punya mimpi yang cukup besar untuk mengembangkan mimpi itu sendiri.

Sejak kecil saya punya kebiasaan bermimpi, baik saat saya sedang tidur ataupun saya sedang terjaga. Saya mempunyai plot di dalam pemikiran saya untuk setiap hal. Semua kejadian ada skenario kedua-nya (bahkan skenario kelima-nya, with alternate endings), skenario yang saya buat adalah skenario dimana saya yang akan menjadi tokoh sentral-nya, dan saya bisa menjadi makhluk paling egois di dalam cerita itu.

To dream is an everyday journey. Jika menerapkan pemikiran untuk bermimpi setiap harinya, perjalanan ke kantor akan terasa seperti perjalanan menuju kastil untuk mengalahkan naga. Menelusuri kerumunan orang akan terasa seperti melewati sekelompok zombie dan berpura-pura menjadi salah satu dari mereka, agar tidak diserang. 

Nah itu tadi mimpi yang bisa kita ciptakan, mimpi yang bisa kita lakukan saat kita terjaga. Bagaimana dengan mimpi yang hadir saat kita sedang tidur? Mimpi yang adalah bunga tidur, menurut saya mimpi yang tiap malam saya rasakan adalah pokok pikiran hari itu, esensi kejadian yang terakumulasi. Kadang kejadian yang kita alami dan menyusup ke dalam mimpi memang bukan hal yang terpenting yang terjadi pada hari itu, tetapi mungkin di bagian terkecil di otak kita (atau hati) merasa itu adalah hal yang penting.

Jujur, jika saya tidur terlelap dan tidak bermimpi adalah satu hal yang paling saya benci, setiap hari saya menunggu untuk dikejutkan oleh mimpi nanti malam. Ketika bermimpi bertemu idola saya (Thom Yorke) dan bisa bicara dengan dia, saat terbangun di pagi hari, saya cukup semangat untuk benar-benar bekerja agar bisa menonton konser-nya suatu hari di suatu tempat. Ataupun ketika saya sedang merasa menjadi orang yang sangat membosankan, dan malamnya saya bermimpi memegang senapan dan berada di menara tertinggi, untuk membasmi semua zombie didunia, that really makes me feel special and unique again! 

Lalu untuk apa saya menulis mengenai dunia mimpi? Dan siapa yang mau membaca tentang mimpi? Saya hanya ingin menjelaskan bahwa bermimpi itu tidak pernah salah. Mimpi itu tidak berhenti ketika seseorang menjadi dewasa. Bermain dengan pikiran tidak terbatas hanya untuk anak-anak saja. Perhatikan hal-hal kecil yang terjadi didalam hidup anda, jangan pernah terbatas dengan realita yang sudah ada di depan mata kita. Karena ketika kita menutup mata, barulah hal-hal yang luar biasa indah bisa terjadi bukan? 

Make your day an adventure, dimulai dengan bangun pagi, dan masuk ke kamar mandi, anggaplah pancuran air itu adalah air terjun ajaib yang bisa memberi kekuatan bagi orang, dan kita adalah orang yang memohon kekuatan gaib itu. Lalu dilanjutkan dengan makan pagi, bayangkan makanan itu adalah oli untuk anda yang ternyata adalah robot, lalu mulailah tularkan pemikiran ini di setiap rentetan kejadian yang akan anda alami di hari itu. Try! It will definitely make you feel more powerful.. :)

The Journey to Find Confidence II

Meskipun saya lulus dari SMA dengan nilai yang cukup baik, saya tetap memilih mengejar passion saya di seni. Akhirnya saya memilih untuk masuk ke sekolah seni, disini saya cukup banyak memupuk diri saya, meskipun terkubur tugas kuliah yang begitu banyak dan seringkali tidak dapat menemukan waktu untuk mengerjakan personal project, tapi yang diajarkan di sekolah ini sangat membuat saya tertantang, dan akhirnya makin banyak keterampilan yang saya miliki dalam mengolah karya saya.


Halfway through my education, saya mengalami kejadian paling pahit dalam hidup saya. Saya kehilangan seorang pria yang menjadi mentor saya, teman saya, orang yang paling baik, paling sabar yang pernah saya kenal, Ayah saya. Soehartono Dachlan, ia meninggal karena sakit kanker yang sempat ia derita selama hampir 5 tahun. Di akhir hidupnya, yang paling menyakitkan untuk saya adalah kenyataan bahwa saya belum jadi "orang" ketika dia pergi. I was only 20 years old, and I haven't done anything to make him proud. Tapi saya cukup bersyukur atas waktu yang telah Tuhan berikan di akhir hidupnya, saya masih bisa merawat dia sampai dia dipanggil Yesus.



Setelah kematian Ayah saya, saya berjanji akan menjadi anak yang jauh lebih baik. Saya berjanji akan menyenangkan ibu saya, satu-satunya orang tua saya yang tersisa di dunia. Saya yang diujung pendidikan S1 saya, diminta oleh ibu saya untuk mengikuti suatu ajang kompetisi modeling, yang jujur tidak pernah terbesit ingin saya ikuti. Saya, gadis idealis yang tidak percaya dengan dunia yang materialistis, harus mengikuti ajang dimana isinya hanya gadis-gadis yang berpura-pura menjadi sesuatu yang bukan dia?


Saya tetap bersikeras tidak mau mengikuti ajang ini, sampai seseorang mengatakan "kirim aja dulu, emang pasti masuk apa?!" entah kenapa kata-kata ini membekas, seakan menantang saya, and I really like challenges. So I sent the application form, along with the essay. Ini memang benar-benar dunia baru untuk saya, namun saya disambut dengan begitu lancarnya jalan yang sudah tertata, semua begitu cepat, dan saya berhasil jadi yang terbaik. 

Kemenangan ini adalah suatu berkat dan sekaligus kutukan untuk saya. Seseorang yang begitu pemalu, senang bekerja dibelakang layar, dan mengungkapkan semuanya melalui karya, akhirnya harus maju ke depan kamera, menumbuhkan rasa percaya diri, dan yang terpenting adalah merasa bahwa saya adalah wanita cantik.

Cantik adalah kata yang selalu jauh dari saya. Saya tidak pernah dianggap orang lain cantik, saya gelap, aneh, egois, kasar, untuk menjadi wanita cantik adalah sesuatu yang saya benar-benar tidak mengerti. Terjunlah saya dalam ikatan agency, untuk menjadi model selama 1 tahun, inilah yang akhirnya mengubah saya menjadi gadis yang cukup toleran dan cukup terbuka, meskipun sisa idealisme masih banyak melekat di diri saya. 

Begitu banyak pilihan langsung hadir didepan saya, begitu banyak kesempatan, begitu banyak jalan, begitu banyak keinginan. Akhirnya saya berjalan dengan 1 keinginan, yaitu akan kembali berkarya di bidang seni. Apapun saya lewati, dan saat ini, apa yang saya lakukan di depan kamera kadang membunuh saya sedikit demi sedikit, saya masih belum pernah bisa berdiri dengan tegar didepan lensa. Saya masih merasa terancam, dan seperti akan terbunuh, sangat berbeda ketika saya memegang pensil dan kertas, saya merasa itu adalah bagian dari saya.

Namun, inilah pekerjaan saya, menjadi seorang jurnalis, atau so-called news anchor. Pekerjaan yang cukup idealis dengan tantangan diri paling berat, yaitu tampil di depan publik. Saya harap keputusan saya memasuki dunia ini akan memberi faedah dalam hidup saya selanjutnya. Dengan masuk ke dunia yang paling tidak terpikirkan sebelumnya, saya harap saya akan dapat tantangan yang jauh lebih besar dari orang lain. Saya bangga bisa menarik diri saya untuk keluar dari comfort zone, dan bekerja dengan orang lain dan menjadi seseorang yang cukup outgoing. Dengan ini saya menantang diri saya untuk tidak menjadi orang yang tertutup. 

Namun apapun yang saya jalankan hingga saat ini akan kembali bermuara di seni. Seni adalah balance yang saya perlukan di hidup saya. Seni tidak punya batasan, seni tidak menuntut apapun, seni adalah hidup. Saya harap di akhir hidup saya, dunia seni akan kembali memeluk saya dalam kehangatannya..